JurnalPatroliNews – Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyoroti tren peningkatan aktivitas gempa bumi di Indonesia.
Fenomena ini, menurutnya, semakin terpantau seiring bertambahnya alat pemantauan yang dikerahkan BMKG. Dalam webinar bertajuk “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi” yang disiarkan melalui kanal YouTube Teknik Geofisika ITS, ia mengingatkan pentingnya mitigasi bencana geohidrometeorologi.
Selain gempa bumi dan tsunami, ancaman bencana hidrometeorologi juga meningkat akibat perubahan iklim.
Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Kondisi ini menjadikannya sebagai wilayah rawan gempa. Berdasarkan data BMKG, terdapat 14 segmen megathrust dan 402 segmen sesar aktif yang telah teridentifikasi. Namun, masih banyak sumber gempa lainnya yang belum terpetakan sepenuhnya.
Perkembangan Pemantauan Gempa
Dalam menghadapi peningkatan aktivitas tektonik, BMKG terus memperluas jaringan seismografnya. Dwikorita mengungkapkan bahwa saat gempa dan tsunami dahsyat melanda Aceh pada 2004, Indonesia hanya memiliki sekitar 20 seismograf yang belum terhubung dalam satu jaringan. Sejak 2008, BMKG mulai membangun sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Kini, jumlah sensor telah bertambah hingga mencapai 550 unit.
Berdasarkan analisis data jangka panjang, frekuensi kejadian gempa menunjukkan tren meningkat. Pada periode 1990-2008, rata-rata terjadi sekitar 2.254 gempa per tahun. Jumlah ini meningkat drastis menjadi 5.389 gempa per tahun pada periode 2009-2017. Lompatan signifikan terjadi pada 2018 dengan 12.062 gempa, disusul 11.731 gempa pada 2019.
Komentar