JurnalPatroliNews – Jakarta – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah menerapkan dua model kontrak dalam pengelolaan wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Kedua skema tersebut adalah Production Sharing Contract (PSC) dengan mekanisme Cost Recovery dan PSC dengan mekanisme Gross Split.
Skema Cost Recovery
Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, menjelaskan bahwa mekanisme Cost Recovery sudah lama digunakan di Indonesia. Dalam skema ini, sebelum kontraktor mendapatkan bagiannya, pemerintah terlebih dahulu mengambil First Tranche Petroleum (FTP) dengan besaran 5%-20%.
“Dari total produksi, sebelum dilakukan pemotongan biaya operasi, pemerintah mengambil FTP sebagai semacam royalti. Jika di sektor pertambangan dikenal sebagai royalti, di industri migas disebut First Tranche Petroleum,” ujar Djoko dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (27/2/2025).
Setelah FTP dipotong, biaya operasional yang dikeluarkan oleh kontraktor akan dikembalikan melalui mekanisme Cost Recovery, sesuai aturan yang berlaku.
“Setelah pengembalian biaya, hasil produksi dibagi sesuai persentase yang telah disepakati. Umumnya, untuk minyak, negara menerima 85%, sementara kontraktor mendapatkan 15%. Namun, saat ini persentase kontraktor bisa lebih besar karena adanya persaingan dengan negara lain,” tambahnya.
Untuk sektor gas, negara memperoleh 70%, sedangkan kontraktor mendapatkan 30%. Namun, nilai bagi hasil ini dapat berubah menyesuaikan dengan daya saing investasi di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu, kontraktor juga memiliki kewajiban menjual sebagian hasil produksi mereka ke pasar domestik melalui Domestic Market Obligation (DMO). Besaran DMO saat ini adalah 25% dari bagian yang diperoleh kontraktor, mengikuti harga pasar.
“Itu volumenya sebesar 25% dari bagian kontraktor, yang wajib dijual ke dalam negeri. Sedangkan untuk gas, negara mendapatkan 51%, sementara kontraktor memperoleh 50% di tahap awal,” jelas Djoko.
Skema Gross Split
Sementara itu, dalam Gross Split, sistem bagi hasil migas lebih sederhana dibandingkan Cost Recovery. Pada skema ini, tidak ada mekanisme penggantian biaya produksi—hasil produksi langsung dibagi antara pemerintah dan kontraktor sesuai persentase yang telah ditetapkan.
“Pada kontrak Gross Split, negara secara langsung menerima 53% dari hasil produksi untuk migas konvensional, sementara kontraktor mendapatkan 47%. Seluruh biaya operasional ditanggung oleh kontraktor. Setelah biaya operasional dibayar, kontraktor tetap dikenakan pajak atas keuntungannya,” terang Djoko.
Mekanisme DMO dalam skema Gross Split juga mengikuti harga pasar, dengan volume yang tetap sebesar 25% dari bagian kontraktor. Dalam hal pembagian hasil gas, negara mendapatkan 51%, sedangkan kontraktor menerima 49%.
Komentar