JurnalPatroliNews – Jakarta – Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, telah menyetujui penghentian penuntutan terhadap 12 perkara pidana dengan mekanisme restorative justice. Keputusan ini diambil dalam ekspose virtual yang digelar pada Selasa, 4 Maret 2025.
Salah satu perkara yang mendapat persetujuan penghentian penuntutan adalah kasus pencurian yang melibatkan tersangka Rizky Mauludin, yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Rizky Mauludin didakwa melanggar Pasal 362 KUHP setelah mengambil sebuah telepon genggam milik korban, Nur’aini Sungkar, yang diletakkan di sebuah warung di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Kronologi Perkara dan Proses Perdamaian
Tindak pidana tersebut terjadi pada 1 Januari 2025, ketika tersangka melihat telepon genggam merek Samsung A14 milik korban tergeletak di sebuah bangku. Tersangka kemudian mengambilnya dan menjual kepada seseorang bernama Gepeng (yang saat ini berstatus Daftar Pencarian Orang) dengan harga Rp400.000. Korban mengalami kerugian sebesar Rp2.600.000.
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melalui Kepala Kejaksaan, Dr. Safrianto Zuriat Putra, bersama Kasi Pidum Fatah Chotib Uddin dan Jaksa Fasilitator Daru Iqbal Mursid, menginisiasi penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice. Tersangka menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada korban, yang kemudian menerima permintaan maaf tersebut dengan syarat tersangka mengganti kerugian sebesar Rp2.500.000.
Berdasarkan kesepakatan damai ini, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Dr. Patris Yusrian Jaya, yang kemudian meneruskan permohonan ke JAM-Pidum untuk mendapatkan persetujuan final.
11 Perkara Lain yang Dihentikan
Selain kasus Rizky Mauludin, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian penuntutan terhadap 11 perkara lainnya, di antaranya:
- Hendrik Roubert Bolung (Kejari Minahasa) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP (Penganiayaan).
- Riza Amir Rochman alias Riza bin Basuki Rahmat (Kejari Palangkaraya) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP (Penganiayaan).
- Romi Suyono (Kejari Jakarta Pusat) – Pasal 362 KUHP (Pencurian).
- Ali Imran alias Andi (Kejari Bima) – Pasal 363 Ayat (1) ke-3 KUHP (Pencurian dengan Pemberatan).
- Fajar Saptanawang (Kejari Jakarta Pusat) – Pasal 480 KUHP (Penadahan).
- Sainah alias Inaqher binti Mastur (Alm) (Kejari Lombok Timur) – Pasal 378 KUHP (Penipuan).
- I H. Sukismoyo alias Pak Kis bin Djoyo Widono (Alm), M. Mujmal alias Mujmal bin Alm Sanusi, dan Gus Darmawan alias Agus bin Hanan (Alm) (Kejari Lombok Timur) – Pasal 170 Ayat (1) KUHP (Pengeroyokan) atau Pasal 406 Ayat (1) jo KUHP (Perusakan).
- M. Mastar alias Mastar bin H. Idris (Alm) dan Sahabuddin alias Sahab bin (Alm) Haji Idris (Kejari Lombok Timur) – Pasal 170 Ayat (1) KUHP (Pengeroyokan) atau Pasal 406 Ayat (1) jo KUHP (Perusakan).
- Jek Kornalis Mulik alias Jero (Kejari Rote Ndao) – Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 (KDRT).
- Hendrikus Lusi Odjan alias Endi (Kejari Flores Timur) – Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 (KDRT).
- Basri Yono bin Ishak (Kejari Bintan) – Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 (KDRT).
Dasar Pertimbangan Penghentian Penuntutan
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan dengan mempertimbangkan beberapa faktor utama, yaitu:
- Telah terjadi proses perdamaian antara tersangka dan korban.
- Tersangka mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
- Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana yang disangkakan tidak lebih dari lima tahun penjara.
- Perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa adanya tekanan atau intimidasi.
- Proses hukum lebih lanjut dinilai tidak memberikan manfaat yang lebih besar bagi kepentingan hukum dan sosial.
- Respons masyarakat terhadap upaya penyelesaian perkara secara restorative justice bersifat positif.
Instruksi Kejaksaan untuk Penghentian Penuntutan
JAM-Pidum menegaskan bahwa Kepala Kejaksaan Negeri yang menangani perkara-perkara tersebut diwajibkan untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022. Keputusan ini merupakan langkah nyata Kejaksaan Agung dalam mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat.
Dengan adanya mekanisme keadilan restoratif ini, Kejaksaan berharap dapat memberikan solusi hukum yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan keadaan antara korban dan pelaku, tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Komentar