JurnalPatroliNews – Jakarta – Seorang dosen dari Universitas Pertahanan (Unhan), Kolonel Sus Prof Mhd Halkis MH, menggugat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut dilayangkan di tengah memanasnya perdebatan publik mengenai rencana revisi UU TNI yang menuai banyak kritik.
Langkah hukum ini langsung menarik perhatian Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai pengajuan judicial review oleh Halkis patut diawasi dengan serius.
“Kami memberikan perhatian penuh atas langkah hukum yang diajukan pengajar dari Unhan ini,” kata Isnur kepada media, Jumat, 18 April 2025.
Gugatan yang didaftarkan dengan nomor registrasi 41/PAN.ONLINE/2025 itu diajukan melalui kuasa hukum Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar. Detailnya sudah tercantum di laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Prof. Halkis yang juga merupakan perwira aktif, mengkritik isi Pasal 2 huruf d UU TNI yang menurutnya menggambarkan tentara profesional dengan pendekatan negatif. Pasal tersebut menyebut tentara profesional sebagai yang “tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.” Menurutnya, hal ini justru tidak menjelaskan secara substantif arti sebenarnya dari profesionalisme militer.
“Tentara profesional seharusnya didefinisikan secara positif — yakni mereka yang menjalankan tugas negara dengan netralitas, berkompetensi, dan memiliki hak atas kesejahteraan ekonomi serta peluang jabatan publik,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menggugat Pasal 39 ayat (3) yang melarang anggota TNI untuk berbisnis. Dalam pandangannya, aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak semua warga negara atas pekerjaan dan kehidupan yang layak.
Namun, YLBHI memandang gugatan ini justru membuka jalan yang berbahaya. “Apa yang digugat Halkis berpotensi merusak prinsip netralitas militer dan bisa jadi pintu masuk bagi kembalinya peran ganda TNI sebagaimana terjadi di masa Orde Baru,” tegas Isnur.
Ia juga mengkritik proses pengesahan UU TNI yang baru, yang dianggap cacat secara prosedural dan materiil. “Bila Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan dan mencabut larangan berbisnis dan berpolitik bagi prajurit, ini adalah kemunduran besar bagi demokrasi,” tambahnya.
Menurut Isnur, hal tersebut bisa memperkuat kebangkitan kembali dwifungsi ABRI yang pernah mengekang sistem sipil di masa lalu.
Komentar