JurnalPatroliNews – Jakarta – Andi Widjajanto, Ketua DPP PDIP, memaparkan analisis tajam mengenai meredupnya dominasi Amerika Serikat (AS) dan peluang besar bagi negara-negara Global South, termasuk Indonesia, untuk tampil sebagai kekuatan dunia setelah 2050.
Dalam forum diskusi bertajuk “Masa Depan Geopolitik: Refleksi 70 Tahun KAA dan Proyeksi 2050”, Sabtu, 26 April 2025, di Kantor DPP PDIP Menteng, Jakarta, Andi memperkirakan, periode 2025-2035 akan menjadi masa kemerosotan besar bagi hegemoni AS. Setelah itu, dunia akan memasuki fase “anarki global” hingga 2050, di mana kekuatan seperti China, India, Brasil, Nigeria, dan Indonesia akan berlomba mengisi kekosongan kepemimpinan global.
“Jika dunia berhasil mencapai stabilitas pada 2050, Tiongkok berpotensi mengambil alih posisi sebagai kekuatan dominan. Namun, Indonesia harus mempersiapkan diri agar bisa turut bersaing di gelanggang global,” tegas mantan Gubernur Lemhannas tersebut.
Andi mencatat, sepanjang sejarah, belum pernah ada aliansi Asia-Afrika atau gerakan Non-Blok yang berhasil menembus dominasi global. Ia menyoroti bahwa banyak negara di Selatan masih terjebak dalam persoalan domestik, dengan beberapa bahkan tergolong sebagai negara gagal, seperti Myanmar dan Kongo. Ia juga memperingatkan ancaman kebangkrutan di negara-negara seperti Argentina dan Afrika Selatan, berdasarkan data CFR Sovereign Risk Index.
Lebih jauh, Andi menyebutkan bahwa kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS di tahun 2024 dapat mempercepat keruntuhan supremasi AS. “Trump bisa menjadi katalis percepatan kebangkitan kekuatan Selatan,” ujarnya.
Ia menguraikan lima pilar dominasi AS yang mulai rapuh: kekuatan nuklir yang kini tersebar luas, aliansi seperti NATO yang kian kehilangan daya cengkeram, kampanye demokrasi dan HAM yang makin dipertanyakan, institusi ekonomi internasional yang dinilai timpang, dan ketergantungan dunia pada dolar AS yang mulai goyah.
“Dengan Indonesia bergabung dalam BRICS, kita mengambil langkah strategis untuk melemahkan dominasi dolar,” tambah Andi.
Ia juga menekankan pentingnya menghidupkan kembali visi geopolitik Bung Karno, yaitu anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, pembangunan tatanan dunia baru, prinsip bebas aktif, dan tawaran Pancasila sebagai alternatif ideologi dunia.
“Pada masanya, Bung Karno menawarkan Pancasila kepada PBB sebagai jalan tengah antara komunisme dan kapitalisme. Konsep ini kini sangat relevan untuk menghadapi potensi kekacauan dunia pasca-kejatuhan hegemoni AS,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Andi juga mengkritik masa Orde Baru yang dianggap menodai semangat Konferensi Asia Afrika melalui aneksasi Timor Leste dan penyalahgunaan Pancasila sebagai alat politik.
“Tugas kita di PDIP adalah mengoreksi kembali sejarah kelam tersebut, sebagaimana dipesankan Ibu Megawati,” jelasnya.
Meski optimis, Andi mengingatkan bahwa jalan menuju 2050 penuh tantangan: mulai dari ketidakpastian ekonomi global, ancaman konflik nuklir, hingga kebutuhan memperkuat ketahanan dalam negeri.
Ia menutup paparannya dengan menegaskan bahwa semangat KAA dan nilai-nilai Pancasila harus menjadi panduan Indonesia dalam menatap masa depan, bukan sekadar menjadi bagian dari kenangan sejarah.
Komentar