JurnalPatroliNews – Jakarta – Dugaan penyimpangan dalam pengadaan 5 juta unit alat pelindung diri (APD) saat masa pandemi Covid-19 kembali mencuat, dengan nilai kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp319 miliar.
Nama anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, ikut terseret karena diduga terlibat melalui perannya sebagai komisaris di PT Energi Kita Indonesia (EKI) perusahaan yang ditunjuk langsung oleh Kementerian Kesehatan.
Aktivis antikorupsi yang pertama kali melaporkan kasus ini ke KPK dan Kejaksaan Agung telah meningkatkan tekanan dengan melayangkan surat kepada berbagai pihak, mulai dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Komisi III DPR RI, hingga pimpinan DPP Partai Golkar. Bahkan, komunikasi langsung dilakukan dengan elite partai berlambang pohon beringin tersebut.
Melalui pesan WhatsApp yang diterima oleh pegiat antikorupsi Gede Angastia (Anggas), seorang petinggi DPP Golkar menyatakan bahwa partai akan tetap memegang prinsip tegak lurus terhadap hukum dan tidak akan melakukan intervensi terhadap proses penegakan hukum.
“Bahasanya memang diplomatis, tetapi maknanya jelas: mereka mulai menjaga jarak dari Demer,” ungkap Anggas kepada media di Kompleks Parlemen, Selasa (29/4/2025).
Ia menegaskan bahwa keterlibatan Demer dalam proyek pengadaan APD bukan sekadar isu kosong. “Ada dokumen, ada peran, dan nilainya sangat besar—hingga Rp3,3 triliun. Ini bukan sekadar cerita pinggiran, tapi soal pertanggungjawaban publik,” tegasnya.
Anggas juga mengungkap bahwa PT EKI dan PT YS, dua perusahaan yang terlibat dalam pengadaan, tidak memiliki izin resmi penyaluran alat kesehatan (IPAK) sebagaimana diatur dalam Permenkes 1191/Menkes/PER/VIII/2010. Ketiadaan izin ini menunjukkan bahwa mereka tidak seharusnya ditunjuk sebagai penyedia.
Lebih jauh, kolaborasi antara PT EKI, PT PPM, dan PT YS bersama produsen APD lain disebut Anggas sebagai bentuk praktik monopoli yang melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Selain itu, perusahaan-perusahaan tersebut juga dinilai melanggar prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa dalam keadaan darurat, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran LKPP No. 3 Tahun 2020, karena tidak menyerahkan bukti kewajaran harga kepada pejabat pembuat komitmen (PPK).
Menurut laporan audit dari BPKP, penunjukan PT EKI sebagai penyedia APD dilakukan meskipun perusahaan tersebut tidak memiliki pengalaman serupa sebelumnya, dan proses itu dinilai menyebabkan kerugian negara sebesar Rp319 miliar.
Anggas juga menyebut nama lain yang disebut terlibat, yakni Agung Bagus Pratiksa Linggih, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komisi II DPRD Bali dan disebut sebagai “putra mahkota” dari Demer. Ia menyatakan bahwa tindakan para pihak yang terlibat melanggar pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta pasal 55 KUHP.
“Uang rakyat tidak boleh dikuras diam-diam. Kalau elite bermain di belakang layar, maka rakyatlah yang menanggung akibatnya. Tugas kami adalah mengawal agar kebenaran tidak mati,” pungkas Anggas, yang kini bermukim di Miami, AS.
Sementara itu, ketika dikonfirmasi pada Rabu (5/2/2025), Demer menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat. Ia mengklaim telah memberikan penjelasan melalui berbagai media dan menyerahkan sepenuhnya kepada hukum dan karmaphala.
“Kasus ini sudah lama, saya tidak terlibat. Saya percaya siapa yang berniat buruk akan menerima karmanya,” ujarnya.
Namun publik belum lupa—seorang wakil rakyat yang juga menjabat sebagai komisaris di perusahaan yang terlibat pengadaan besar saat pandemi, tentu menjadi sorotan. Apakah hukum akan tetap tajam ke atas, atau kembali tumpul? Waktu yang akan membuktikan.
Komentar