JurnalPatroliNews – Jakarta – Mata uang China, yuan, mencatat penguatan signifikan setelah berlangsungnya pertemuan tingkat tinggi antara delegasi Amerika Serikat dan Tiongkok pada akhir pekan lalu yang berakhir dengan nada positif. Kedua negara sepakat menunda penerapan tarif timbal balik selama 90 hari ke depan adalah sebuah langkah yang dinilai sebagai upaya meredakan ketegangan dalam konflik dagang berkepanjangan.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (12/5/2025), Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, membenarkan adanya kesepakatan antara Washington dan Beijing untuk menunda kebijakan tarif tersebut. Tak hanya itu, kebijakan tarif resiprokal yang selama ini menjadi pemicu ketegangan juga akan dikurangi hingga 115%, demi menjaga stabilitas ekonomi global.
Namun, euforia pasar tidak sepenuhnya menghapus keraguan. Para analis menilai kesepakatan tersebut masih menyisakan ruang ketidakpastian, terutama karena belum ada rincian teknis yang diungkapkan secara menyeluruh. Bank Sentral China pun menegaskan kesiapan mereka untuk mengendalikan nilai tukar agar tidak melonjak secara tidak wajar.
Guan Tao, Kepala Ekonom Global di BOC International dan mantan pejabat regulator valuta asing, menyebut hasil pembicaraan ini memang mendukung penguatan yuan dalam waktu dekat. Namun ia menambahkan, “jalan ke depan masih panjang dan penuh tantangan.”
Berdasarkan data Refinitiv, yuan ditutup menguat 0,48% terhadap dolar AS pada Senin (12/5/2025). Penguatan ini berlanjut pada Selasa pagi (13/5/2025), di mana yuan kembali menguat sebesar 0,16% ke level CNY 7,19 per dolar AS. Ini menjadi posisi terbaik mata uang China dalam enam bulan terakhir.
Scott Bessent menyebut adanya “kemajuan substansial” dalam diskusi yang berlangsung selama akhir pekan. Senada dengan itu, pejabat tinggi dari pihak China menyebut telah tercapai “konsensus penting” dan kedua belah pihak sepakat membentuk forum dialog ekonomi baru.
Meski begitu, pialang Nanhua Futures dalam catatannya menyatakan bahwa belum ada ekspektasi atas terobosan besar dalam waktu dekat. “Persaingan strategis antara AS dan China kini masuk babak baru. Ini adalah awal dari ‘perang dagang 2.0’,” tulis mereka.
Sementara itu, analis dari OCBC Bank menyambut baik perkembangan ini, namun mengingatkan bahwa penurunan tensi dagang bukan berarti normalisasi penuh. Mereka menilai dinamika dalam 90 hari ke depan akan sangat bergantung pada intensitas negosiasi bilateral dan strategi keterlibatan negara-negara pihak ketiga dalam pembentukan blok dagang baru.
Komentar