JurnalPatroliNews – Jakarta – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) angkat bicara keras atas pemindahan mendadak Dr. Piprim Basarah Yanuarso SpA(K), seorang pengajar senior di FKUI-RSCM sekaligus Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ke RS Fatmawati.
Langkah tersebut dinilai bukan sekadar mutasi biasa, melainkan sarat kepentingan politik yang menyasar para dokter vokal terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan.
Dr. Piprim dikenal sebagai salah satu figur yang cukup lantang mengkritik langkah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, terutama soal pembentukan kolegium baru di luar struktur yang selama ini dijalankan organisasi profesi medis.
Dalam perbincangan podcast Abraham Samad SpeakUp yang dirilis pada Selasa malam, 13 Mei 2025, Dr. Iqbal Mochtar dari Pengurus Besar IDI membeberkan bahwa Kemenkes telah membuat lembaga kolegium versi sendiri yang berbeda dengan kolegium yang sejak lama eksis dan diakui dalam struktur Konsil Kesehatan Indonesia.
“Bayangkan saja, kolegium yang sudah eksis puluhan tahun, sekarang tiba-tiba diduplikasi oleh Menkes dengan proses pemilihan anggotanya lewat voting daring. Bukan berdasarkan kapasitas keilmuan atau standar profesi,” ujar Iqbal.
Ia menyebut metode pemilihan ala “online voting” tersebut sebagai “Kolegium Idol”, karena dianggap lebih mirip ajang pencarian bakat ketimbang pemilihan akademisi profesional.
Iqbal menilai, langkah ini memicu gelombang penolakan dari banyak organisasi profesi. Salah satu penentang paling keras, lanjutnya, berasal dari IDAI yang dipimpin langsung oleh Dr. Piprim.
Tak hanya Dr. Piprim yang terkena imbas. Sebelumnya, Sekjen IDAI, Dr. Hikari, juga dipindahkan karena aktif menyuarakan kritik terhadap kebijakan Menkes. Bahkan, seorang dokter lain, Dr. Rizky, yang memberikan kesaksian publik tentang pentingnya keberadaan Dr. Piprim di RSCM, diberhentikan dua hari setelah menyampaikan dukungan tersebut.
“Kalau melihat pola seperti ini, sangat sulit untuk tidak mengaitkannya dengan upaya pembungkaman terhadap mereka yang berseberangan pandangan dengan Kemenkes,” kata Iqbal.
Sebagai pengingat, Iqbal juga menyinggung kasus Prof. Zainal Muttaqin, ahli bedah saraf epilepsi dari UNDIP, yang juga pernah diberhentikan usai menyatakan penolakan terhadap UU Kesehatan.
Ia menegaskan, rangkaian peristiwa ini tidak bisa dilihat sebagai rotasi biasa dalam birokrasi, tetapi sebagai bentuk tekanan sistematis terhadap kebebasan berpendapat di kalangan tenaga medis.
“Ini bukan sesuatu yang normatif. Ini jelas beraroma politik,” tutup Iqbal.
Komentar