JurnalPatroliNews – Jakarta – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui badan penerbangannya, ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional), menyatakan bahwa Rusia bertanggung jawab dalam insiden jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 yang terjadi pada 2014 silam. Temuan ini didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan resmi.
Dalam pernyataannya, ICAO menuding Moskow telah gagal menjalankan kewajiban berdasarkan hukum internasional di sektor penerbangan sipil. “Federasi Rusia tidak menjalankan tanggung jawab hukum internasional terkait keselamatan udara dalam insiden jatuhnya MH17,” demikian kutipan ICAO, sebagaimana dilaporkan AFP pada Selasa, 13 Mei 2025.
Negara-negara seperti Australia dan Belanda, yang warganya menjadi korban terbanyak dalam tragedi ini, mendesak Rusia agar menerima tanggung jawab penuh dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Menteri Luar Negeri Ukraina, Andrii Sybiha, menyambut baik pernyataan ICAO sebagai langkah penting menuju keadilan. “Ini menjadi pesan tegas bahwa kebohongan dan manipulasi tidak bisa menyembunyikan kebenaran selamanya. Keadilan pasti menang,” ujarnya.
Tragedi MH17 terjadi pada 17 Juli 2014 ketika pesawat komersial yang terbang dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur ditembak jatuh di wilayah konflik Ukraina Timur oleh rudal BUK buatan Rusia. Seluruh 298 orang di dalam pesawat tewas.
Sebagian besar korban berasal dari Belanda dan Australia—dua negara yang paling vokal menuntut pertanggungjawaban. Sebanyak 193 penumpang adalah warga Belanda, dan 38 lainnya berkewarganegaraan Australia. Malaysia turut kehilangan 30 warganya, termasuk awak pesawat.
Kala itu, Presiden Ukraina Petro Poroshenko menyebut serangan tersebut sebagai aksi terorisme. Namun, pihak Rusia terus menyangkal keterlibatannya dan justru menuding militer Ukraina sebagai pelaku.
Kelompok separatis pro-Rusia juga menolak tuduhan tersebut dan bersikukuh bahwa rudal ditembakkan oleh pasukan Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan sempat menyalahkan Kyiv atas tragedi itu.
Namun penyelidikan internasional menghasilkan kesimpulan berbeda. Pada 2022, pengadilan di Belanda memvonis tiga terdakwa—dua di antaranya warga negara Rusia—dengan hukuman penjara seumur hidup. Penyelidikan bersama yang melibatkan Belanda, Australia, Belgia, Malaysia, dan Ukraina menemukan indikasi kuat bahwa Rusia, dan bahkan Presiden Putin, mengetahui serta menyetujui pengiriman sistem senjata yang digunakan dalam penembakan tersebut.
Komentar