Israel Luncurkan Serangan Besar di Gaza Sembari Teruskan Perundingan di Qatar

JurnalPatroliNews – Jakarta – Israel resmi memulai tahap baru dalam konfrontasinya dengan Hamas melalui operasi militer skala besar di Jalur Gaza. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tekanan terhadap kelompok militan tersebut agar membebaskan para sandera yang masih ditahan.

Di saat tank dan jet tempur kembali bergerak di Gaza, jalur diplomasi juga tetap terbuka. Delegasi Israel masih aktif bernegosiasi secara tidak langsung dengan Hamas melalui mediasi di Qatar.

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengumumkan bahwa kampanye militer baru yang dinamai “Operasi Kereta Perang Gideon” diluncurkan dengan kekuatan penuh. Ia menyatakan bahwa misi ini tak akan berhenti sebelum semua sandera dipulangkan dan Hamas dibongkar hingga ke akarnya.

Sementara itu, militer Israel dalam pernyataannya di media sosial menegaskan komitmen untuk melanjutkan operasi militer sembari tetap mengupayakan hasil diplomatik.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyampaikan bahwa ofensif terhadap Hamas akan terus diperkuat, namun ia juga menegaskan bahwa tim negosiasi akan tetap berada di Doha untuk melanjutkan dialog. Seorang pejabat Israel, yang identitasnya dirahasiakan, menyebutkan bahwa Netanyahu terus memantau jalannya perundingan dan berkoordinasi dengan utusan Amerika Serikat, Steve Witkoff.

Di sisi lain, pihak Hamas tetap bersikeras bahwa pembebasan sandera hanya dapat terjadi jika Israel menyetujui gencatan senjata permanen dan menarik pasukannya dari Gaza, sebuah tuntutan yang sejauh ini ditolak oleh Tel Aviv.

Situasi di Gaza semakin memburuk. Dalam 24 jam terakhir, laporan dari otoritas kesehatan Gaza menyebut lebih dari 150 warga sipil tewas akibat bombardir Israel. Serangan udara tersebut melanda sejumlah kawasan padat penduduk, termasuk kamp pengungsi Jabaliya dan kota Deir al-Balah, menewaskan puluhan orang, termasuk anak-anak.

“Ini sudah keterlaluan. Haruskah kita semua mati dulu baru dunia peduli?” ujar Naji Awaisa, salah satu warga Jabaliya yang terpaksa mengungsi membawa barang seadanya.

Sementara itu, ketegangan di dalam negeri Israel juga meningkat. Ratusan warga berdemonstrasi di Tel Aviv pada Sabtu malam, mendesak pemerintah segera mencapai kesepakatan yang akan mengakhiri konflik dan memulangkan para sandera.

“Dari kelompok kiri, kanan, religius hingga sekuler—semua rakyat Israel mendukung penyelesaian penyanderaan. Melewatkan momen ini adalah mengkhianati sejarah,” kata Dalia Kushnir-Horn, kerabat dari salah satu sandera, saat menyampaikan orasi.

Kondisi kemanusiaan di Gaza kian memprihatinkan. Pembatasan total yang diberlakukan Israel selama hampir tiga bulan telah menghalangi distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan bahan bakar bagi lebih dari dua juta penduduk wilayah itu.

Konflik ini sendiri bermula sejak 7 Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan mendadak ke wilayah Israel selatan yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 lainnya. Sejak saat itu, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 53.000 warga Palestina telah tewas akibat serangan balasan Israel.

Dengan eskalasi kekerasan yang terus berlanjut, perhatian dunia kini tertuju pada proses diplomatik yang masih berjalan—menjadi satu-satunya harapan tersisa untuk mencapai gencatan senjata dan solusi jangka panjang.

Komentar