JurnalPatroliNews – Jakarta – Dunia berada di tengah pusaran fluktuasi kondisi yang kian membesar. Di satu sisi, ketegangan ekonomi akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum benar-benar surut. Di sisi lain, konflik bersenjata di berbagai belahan dunia semakin menyulut kekhawatiran akan masa depan perekonomian global.
Akar dari ketidakstabilan ini bermula saat Presiden AS Donald Trump menerapkan kebijakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara mitra dagang. Langkah kontroversial itu memicu respons keras dari China. Presiden Xi Jinping, yang percaya kekuatan ekonomi negaranya telah sejajar bahkan melampaui AS, memilih untuk membalas dan sejak saat itu, eskalasi tarif antar kedua negara terus bergulir.
Meski sempat mencapai kesepakatan gencatan dagang selama 90 hari sejak April, awan ketidakpastian belum benar-benar menghilang. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, masih mewaspadai kemungkinan kegagalan diplomasi kedua raksasa ekonomi dunia itu.
Namun badai tak berhenti di sana. Dunia kini juga dihantam gelombang baru ketegangan militer. Di Timur Tengah, pertempuran antara Israel dan Hamas kembali pecah meski sebelumnya sempat dijeda lewat gencatan senjata. Israel Defence Forces (IDF) melancarkan serangan masif ke Gaza, memicu krisis kemanusiaan yang mengundang kecaman internasional.
Kondisi serupa terjadi di Eropa Timur. Rencana dialog damai antara Rusia dan Ukraina di Turki gagal total setelah Presiden Vladimir Putin memutuskan tidak hadir secara langsung. Sebagai gantinya, ia mengirim delegasi yang dinilai tidak cukup berpengaruh dalam pengambilan keputusan strategis. Alhasil, tensi antara Moskow dan Kyiv tetap tinggi.
Di kawasan Asia Selatan, rivalitas abadi antara India dan Pakistan kembali menghangat. Kedua negara sempat terlibat saling serang rudal sebelum akhirnya memilih jeda melalui kesepakatan gencatan senjata yang rapuh.
Di tengah dinamika global yang kian tak menentu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat suara. Dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (23/5), ia mengingatkan bahwa walau ada gencatan dagang antara AS dan China, kondisi ekonomi global belum menunjukkan tanda stabil.
“Ini belum selesai. Dunia masih akan terus melihat dampaknya,” tegasnya.
Dalam pernyataan terpisah saat menghadiri Rapat Paripurna ke-18 DPR (20/5/2025), Sri Mulyani menyebut bahwa sejak awal tahun ekonomi global sudah berada dalam posisi rapuh. Kini, perang dagang, perang keuangan, hingga konflik militer hanya memperburuk keadaan.
Menurutnya, kepercayaan antar negara terkikis. Prinsip kerja sama internasional yang selama ini menjadi fondasi diplomasi ekonomi global, kini digantikan dengan kecenderungan proteksionis. Akibatnya, banyak perjanjian bilateral dan multilateral yang sebelumnya solid, kini berada di ujung tanduk.
“Kerja sama bergeser menjadi persaingan. Dunia sudah masuk ke babak baru, di mana setiap negara sibuk mengamankan diri sendiri,” tandas Sri Mulyani.
Dengan situasi seperti ini, tantangan terbesar ke depan bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi bagaimana menjaga stabilitas dalam dunia yang tak lagi saling percaya.
Komentar