JAM-Pidum Dorong Keadilan Restoratif Berbasis Budaya Lokal di Bali Lewat Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa

JurnalPatroliNewsDenpasar,– Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Asep N. Mulyana menegaskan komitmen Kejaksaan Agung dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif yang berakar pada nilai-nilai lokal.

Hal itu ia sampaikan dalam kegiatan Implementasi Komitmen Bersama Bale Kertha Adhyaksa Provinsi Bali, yang digelar pada Senin (30/6).

Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Kejaksaan Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi Bali, serta tokoh masyarakat dan adat setempat, sebagai upaya konkret memperkuat penyelesaian perkara pidana secara musyawarah dan humanis.

“Restorative justice bukan sekadar alternatif pemidanaan, tapi sarana menyembuhkan luka sosial dan mengembalikan harmoni dalam masyarakat. Ini sangat relevan dengan budaya Bali yang menjunjung tinggi kedamaian dan musyawarah,” ujar Asep N. Mulyana dalam sambutannya.

Bale Kertha Adhyaksa: Ruang Damai dalam Penegakan Hukum

Bale Kertha Adhyaksa dihadirkan sebagai forum penyelesaian perkara yang melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat dalam semangat kekeluargaan. JAM-Pidum menjelaskan, pendekatan ini mengedepankan pemulihan hubungan sosial daripada penghukuman semata.

Model penyelesaian yang ditawarkan meliputi permintaan maaf, restitusi, hingga pelayanan masyarakat, dengan fasilitasi dari tokoh adat, tokoh agama, maupun masyarakat sipil.

“Tujuan kita adalah mengedepankan keadilan substantif, bukan sekadar kepastian hukum prosedural,” katanya.

Didukung Legalitas dalam KUHP Baru

Lebih lanjut, JAM-Pidum menyebut kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada 2026 memberi landasan hukum bagi pendekatan ini. Pasal 51 KUHP menekankan pentingnya pemulihan keseimbangan sosial dan pengutamaan pendekatan kontekstual dalam pemidanaan.

“Dengan KUHP baru, restorative justice bukan hanya dikehendaki secara budaya, tetapi juga diperkuat secara hukum positif,” tegasnya.

Kearifan Lokal Jadi Fondasi Keadilan Restoratif

Dalam konteks Bali, JAM-Pidum menyoroti peran Tri Hita Karana dan prinsip Desa Kala Patra sebagai elemen filosofis penting. Menurutnya, pendekatan hukum tidak bisa bersifat seragam secara nasional, tetapi harus mempertimbangkan karakteristik masyarakat setempat.

Ia menilai keberadaan Bale Kertha Adhyaksa menjadi jembatan antara hukum negara dan hukum yang hidup di masyarakat (living law), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP baru. Hukum adat tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan hak asasi manusia.

“Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal memuliakan jati diri bangsa. Pendekatan restoratif berbasis budaya adalah jalan tengah menuju hukum yang adil dan bermartabat,” katanya.

Perlu Sinergi Semua Elemen

Dalam kesempatan tersebut, JAM-Pidum juga menekankan pentingnya kolaborasi antara Kejaksaan, pemerintah daerah, serta tokoh adat dan masyarakat sebagai kunci keberhasilan pendekatan ini.

“Keberadaan Bale Kertha Adhyaksa adalah simbol komitmen kolektif menuju sistem hukum yang lebih humanis dan menyentuh akar kehidupan masyarakat,” ujarnya.

Sebagai penutup, JAM-Pidum mengapresiasi kerja sama yang telah terjalin di Bali dan berharap model ini dapat menjadi percontohan nasional bagi penerapan keadilan restoratif berbasis nilai-nilai lokal.

Komentar