JurnalPatroliNews – Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) mengendus praktik nakal dalam distribusi beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Dugaan kuat muncul bahwa sebagian pelaku usaha mengoplos beras subsidi tersebut ke dalam kemasan beras premium untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil beras SPHP yang benar-benar dijual sesuai peruntukannya. Sisanya, sekitar 80 persen, justru diduga dicampur dan dijual dengan label premium, sehingga harga melonjak Rp2.000 per kilogram.
“Yang dijajakan di toko cuma 20 persen, sementara sisanya dicampur lalu dijual dengan harga premium. Kalau dikalkulasikan, 1 juta ton x Rp2.000, kerugiannya bisa tembus Rp2 triliun per tahun,” kata Amran saat konferensi pers di Kantor Kementan, Jakarta, Senin (30/6).
Ia juga menyebutkan bahwa praktik ini tidak berjalan sendiri. Ada indikasi keterlibatan jaringan mafia beras dalam skema tersebut, terutama karena SPHP tetap disalurkan saat musim panen raya—masa di mana kebijakan resmi justru melarang distribusi SPHP agar tidak mengganggu harga gabah petani.
“Di saat puncak panen, pasar justru dibanjiri beras SPHP. Ini sangat tidak wajar, apalagi terjadi di Pasar Induk Cipinang yang saat itu menyimpan 50 ribu ton stok per hari,” tegasnya.
Sebagai langkah awal, Satgas Pangan Kementan telah mulai menelusuri kasus ini dengan memanggil pemilik merek-merek beras yang diduga terlibat dalam pengoplosan. Sedikitnya 212 label beras medium dan premium kini sedang diselidiki.
“Seluruh pemilik merek yang masuk dalam daftar dugaan akan diperiksa. Kami tidak akan mentolerir pelanggaran seperti ini,” tambah Amran.
Langkah ini diambil untuk mencegah distorsi pasar dan memastikan program pangan bersubsidi benar-benar menyasar masyarakat yang membutuhkan, bukan menjadi alat permainan spekulan.
Komentar