JurnalPatroliNews – Jakarta – Gagasan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) untuk menerapkan tarif cukai Golongan III bagi Sigaret Kretek Mesin (SKM) mendapat sambutan positif dari anggota DPD RI sekaligus anggota MPR RI asal Jawa Timur, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
LaNyalla menyatakan dukungannya terhadap wacana pemberlakuan tarif cukai yang lebih ringan bagi industri rokok berskala kecil, terutama yang memproduksi SKM dengan volume terbatas. Menurutnya, skema ini dapat menjadi strategi efektif menekan maraknya rokok tanpa cukai yang beredar di pasaran.
“Beban yang ditanggung oleh industri rokok bukan hanya dari pembelian pita cukai. Masih ada PPN dari penjualan, pajak daerah, dan juga PPh atas keuntungan perusahaan. Semuanya memberatkan, terutama bagi produsen kecil,” kata LaNyalla dalam keterangannya, Kamis (3/7/2025).
Mantan Ketua DPD RI itu juga menyoroti perubahan perilaku konsumsi masyarakat akibat menurunnya daya beli, khususnya pada kalangan menengah ke bawah. Peralihan konsumen dari rokok mahal ke rokok murah menciptakan ceruk pasar tersendiri yang kini dilayani oleh industri kecil.
Namun, lanjutnya, tekanan untuk menjual rokok dengan harga murah sering kali tak sebanding dengan biaya produksi dan pajak yang tinggi. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum dengan memproduksi dan menjual rokok ilegal tanpa cukai.
“Jika tarif cukai Golongan III bisa diterapkan untuk pelaku industri kecil, ini akan menjembatani antara permintaan pasar dengan regulasi. Selain itu, akan menekan peredaran rokok ilegal,” tegasnya.
LaNyalla juga mengingatkan bahwa keberadaan rokok ilegal bukan hanya merugikan negara secara fiskal, tetapi juga membuka peluang praktik-praktik menyimpang seperti korupsi dan pemerasan oleh oknum aparat. Hal ini, menurutnya, berpotensi merusak moral dan menciptakan kebiasaan buruk di masyarakat.
Lebih jauh, ia menyadari bahwa isu seputar industri tembakau sangat kompleks, karena melibatkan berbagai sektor yang memiliki kepentingan berbeda. Di satu sisi ada kepentingan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sementara di sisi lain sektor kesehatan berupaya keras menekan angka perokok, sejalan dengan kampanye global.
“Industri rokok mempekerjakan hampir 5,9 juta tenaga kerja di dalam negeri, belum termasuk sekitar 2,3 juta petani tembakau. Dan pada 2023, kontribusi cukai rokok bagi negara mencapai lebih dari Rp216 triliun,” ungkapnya.
Ia pun mengajak pemerintah untuk mengelola isu industri tembakau dengan pendekatan yang adil dan menyeluruh. Keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan harus dijaga.
“Pemerintah perlu merangkul semua pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan. Jangan ada yang ditinggalkan,” tutup LaNyalla.
Komentar