JurnalPatroliNews – Jakarta – Ketidakstabilan global akibat rivalitas geopolitik, perubahan iklim, serta fragmentasi ekonomi dunia membuka ruang bagi negara-negara berkembang untuk naik ke panggung utama. Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menilai bahwa Indonesia justru berada dalam posisi yang sangat strategis untuk memanfaatkan situasi ini.
“Langkah diplomasi aktif Indonesia di forum Global South dan BRICS+ adalah cerminan dari prinsip politik luar negeri bebas aktif yang cerdas. Ini bentuk adaptasi yang sehat di tengah sistem internasional yang rapuh,” ujar Didik dalam menanggapi pelaksanaan KTT BRICS bertema “Strengthening Global South Cooperation Towards More Inclusive and Sustainable Governance” pada 6–7 Juli 2025.
Ia menyebut bahwa meski BRICS+ belum memiliki kekuatan militer terintegrasi, kekuatan ekonomi blok tersebut tidak bisa dipandang remeh. “Secara ekonomi, BRICS memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi penentu dalam peta kekuatan dunia,” imbuhnya.
Menurutnya, struktur tatanan global perlahan bergeser dari dominasi bipolar antara Amerika Serikat dan Cina, menuju era multipolaritas. Negara-negara seperti India, Turki, Brasil, Iran, ASEAN, serta Uni Eropa terutama Jerman dan Prancis kini memiliki peran yang semakin menonjol dalam dinamika kawasan dan global.
Didik juga mengkritisi merosotnya pengaruh lembaga internasional seperti WTO, PBB, dan IMF, yang dinilainya semakin terpinggirkan oleh konflik kepentingan antarblok besar dunia.
Ia memandang ketegangan dagang dan teknologi antara Washington dan Beijing telah melahirkan fenomena deglobalisasi parsial, yang ditandai dengan meningkatnya kebijakan proteksionis, praktik friend-shoring, serta terbentuknya blok-blok dagang baru berdasarkan kedekatan ideologi dan kepentingan.
Namun di balik semua itu, Indonesia justru memiliki momentum untuk menjadi pemain penting—khususnya dalam pengembangan industri hijau. “Industri ramah lingkungan harus menjadi tumpuan utama. Dunia tengah mencari solusi berkelanjutan, dan Indonesia bisa menjadi pemasok utamanya,” tegas Didik.
Ia menyebut sektor seperti pengolahan nikel dan pabrik baterai kendaraan listrik sebagai peluang emas untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sekaligus mendongkrak cadangan devisa negara.
“Jangan biarkan sektor industri hanya tumbuh stagnan di angka 3-4 persen. Diperlukan kebijakan yang transformatif,” jelasnya.
Selain itu, Didik juga menyoroti perlunya strategi ketahanan pangan dan energi jangka panjang. Menurutnya, langkah-langkah pemerintah saat ini seperti insentif harga beras bagi petani sudah tepat dan harus diperluas agar mendukung kemandirian nasional.
Dalam konteks hubungan internasional, Didik menekankan agar Indonesia tetap memegang teguh prinsip netralitas aktif. “Dengan tidak berpihak ke Barat maupun Timur, Indonesia berpeluang menjadi negara jangkar stabilitas seperti halnya Swiss di Eropa. Posisi ini sangat bernilai dalam geopolitik global.”
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan arti penting kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam KTT BRICS tahun ini. “Ini bukan sekadar kunjungan seremonial. Ini momentum strategis untuk membuka jalur pendanaan baru, investasi hijau, kolaborasi teknologi, dan diversifikasi pasar ekspor. Indonesia dapat menjadi penyeimbang yang efektif di tengah benturan kepentingan global yang terus memanas,” tandasnya.
Komentar