Fenomena Panggung Politik, Denny Siregar, Ade Armando, Abu Janda dan Nikita Mirzani Bikin Rizieq Shihab Terusik

JurnalPatroliNews – Jakarta – Terus terang saja Nikita Mirzani dengan segala ulahnya telah menempatkan dirinya di pusat panggung perpolitikan kontemporer. Tak tanggung-tanggung memang, lawan tanding yang dipilihnya adalah M.Rizieq Shihab yang oleh kelompoknya dielu-elukan sebagai imam besar, Kata Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB) dalam tulisannya, Minggu (15/11) dilansir tempo.

Episode kepulangannya dari pengungsian, entah lantaran terpaksa pulang akibat dideportasi atau hal lainnya, itu sudah tak jadi soal buat kelompok mereka.

Logika akal sehat tak berlaku disini, bagi kelompoknya realitas adalah seperti propaganda dan agitasi dari figur yang mereka agung-agungkan. Ini soal iman katanya, bukan soal akal sehat.

Seiring dengan fenomena itu semua, adalah fakta sosial politik kekinian bahwa Sang Nyai Nikita Mirzani telah muncul sebagai antitesis dari M.Rizieq Shihab.

Di ruang publik, utamanya di ruang maya, keduanya seolah sedang berhadapan. Tesis Rizieq Shihab, dengan anti-tesis Nikita Mirzani.

Dalam salah satu agitasinya, M.Rizieq Shihab juga mengungkapkan murkanya terhadap beberapa tokoh medsos lainnya. Sebut saja Denny Siregar, Ade Armando dan Abu Janda (Permadi Arya).

Dengan angkara murka M.Rizieq Shihab mengklaim bahwa kasus-kasus hukum yang bakal menjeratnya adalah fitnah dan upaya mengriminalisasikan kaum ulama. Sebuah kesimpulan dan generalisasi yang juga bisa diperdebatkan.

Lalu nama-nama Denny Siregar, Ade Armando, Abu Janda disebut-sebut juga dalam agitasinya, yaitu agar mereka semua ditangkap lantaran dituduh telah “menghina” ulama. Suasana memanas.

Di sini kita mesti rehat sejenak, berhenti dan tenang memandang segala sesuatunya. Agar bisa melihat konteks persoalannya, sehingga perspektifnya jadi lebih berimbang.

Mungkin saja bagi ketiganya (Denny Siregar, Ade Armando dan Abu Janda), dalam hal ini M. Rizieq Shihab bukanlah seorang ulama. Biar bagaimana pun kelompoknya ngotot untuk memosisikan ia sebagai imam besar bagi kelompoknya tersebut.

Dalam pandangan ketiganya, sekarang plus Nyai Nikita Mirzani, jadinya berempat, M.Rizieq Shihab hanyalah orang biasa yang punya banyak kasus hukum dan sempat melarikan diri dari proses hukum yang seyogianya ia hadapi. Itu saja. Sederhana.

Jadi definisi ‘mengriminalisasi ulama’ itu tidak ada dalam benak mereka berempat. Yang ada dalam benak mereka mungkin malahan tentang adanya sekelompok orang yang ‘mengulamakan seorang kriminal’.

Kalau sudah begini mana bisa ketemu titik komunikasinya? Kerangka referensinya sudah jauh berbeda, bahkan bertolak belakang. Tak bakal ada ruang komunikasi. Jadi bagaimana?

Tentu perlu kehadiran pihak ketiga, yang bisa jadi semacam arbitrase untuk menegaskan status permasalahan. Siapa dia? Ya otoritas.

Sementara ini ruang publik masih dibisingkan dengan sahut menyahut kedua poros yang saling berlawanan ini. Bukan berbentuk dialog, tapi lebih berformat duolog (masing-masing bicara, tetangga yang mendengarkan!).

Pertanyaannya, dengan tesis berupa narasi Rizieq Shihab yang direspon anti-tesis berupa narasi Denny Siregar, Ade Armando, Abu Janda dan Nikita Mirzani apakah bakal terjadi sintesa yang bermutu?

Narasi Rizieq Shihab dan Narasi Tandingannya (Denny Siregar, Ade Armando, Abu Janda dan Nikita Mirzani) sedang pekat memenuhi wacana di ruang publik. Namun yang kerap luput dari perhatian adalah kedua narasi itu bertolak belakang asumi-asumsinya.

Kelompok yang satu menganggap dirinya orang suci yang tak tersentuh hukum (jargonnya: tak boleh mengriminalkan ulama), sedangkan kelompok tandingannya menganggap orang ini biasa saja, bahkan seorang kriminal (jargonnya: tak boleh mengulamakan kriminal).

Sederhana saja sebetulnya. Namun yang jadi heboh lantaran ada banyak pihak yang berkepentingan untuk berselancar di atas kedua narasi ini. Narasi keduanya jadi komoditas politik yang empuk. Ruang publik pun riuh rendah, berisik.

Namun yang jelas, ditengah keriuhan ini, keduanya telah jadi alat ukur (semacam barometer) bagi politisi kawakan untuk mengukur isu dan narasi mana yang bakal bisa dikendarainya untuk mencapai ambisi politiknya sendiri-sendiri.

Sementara itu, masyarakat akal sehat masih menanti dan terus mengamati. Tesis dan anti-tesis sedang berwacana di ruang publik, apakah sintesanya nanti bakal lebih bermutu atau malah mendegradasi bangsa ini ke titik nadir?

Bakal adakah negarawan yang mau tampil untuk mengorkestrasi dialektika ini demi melahirkan sintesa yang semakin bermutu, yang bisa membawa bangsa ini menuju masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi berdasarkan Pancasila?..(**/lk)

Komentar