Tak Banyak yang Kenal Sosok Mas Pardi, KASAL Pertama di Indonesia

JurnalPatroliNews Tak banyak yang tahu bahkan mengenal Mas Pardi. Ya, sosoknya bukanlah orang biasa.

Pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah pada 1 Oktober 1901 itu tercatat sebagai pendiri sekaligus pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut pusat, cikal bakal berdirinya TNI Angkatan Laut.

Dengan demikian, Mas Pardi tercatat sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Pertama. Jabatan terakhir pengembang ilmu pelayaran nasional ini adalah Laksamana Muda TNI (Purn).

Mas Pardi juga tercatat sebagai anggota delegasi RI pada Sidang Hukum Laut Internasional di Jenewa tahun 1958.

Namun, perjuangan Mas Pardi dalam membesarkan bidang maritim di Tanah Air tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengenalnya.

Oleh karena itu, Dinas Sejarah Angkatan Laut (Disjarahal) mencoba mengangkat perjuangan sang Laksamana supaya bisa menjadi teladan dan mewarisi perjuangannya.

Kadisjarahal Laksamana Pertama TNI Supardi mengatakan salah satunya dengan menyelenggarakan Dialog Sejarah bertema “Merunut Perjuangan Laksamana Mas Pardi Untuk Ibu Pertiwi” di KRI Dewaruci yang sandar di Pelabuhan, Tanjung Emas, Semarang, Jumat (5/3).

Dialog tersebut melibatkan mahasiswa dan pramuka Saka bahari penjabaran dari pesan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono.

“Dialog sejarah kemaritiman ini sangat bermanfaat bagi generasi muda untuk dijadikan referensi dalam perjalanan hidupnya ke depan,” ujar Supardi.
Supardi menjelaskan kegiatan ini merupakan langkah awal untuk mengangkat nama dan perjuangan Laksamana Mas Pardi agar bisa memberikan inspirasi bagi pembangunan nasional berbasis maritim dengan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Dialog ini menampilkan tiga narasumber yaitu Letkol Laut (KH) Heri Sutrisno dari Disjarahal, Capt. Hadi Supriyono (dosen senior Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang), dan Dr. Dhanang Respati Puguh (Ketua Departemen Sejarah Universitas Diponegoro) yang dipandu oleh Letkol (E) Elias Baratiku.

Letkol Heri menyoroti perjuangan Laksamana Mas Pardi dalam membentuk dan mengembangkan TNI AL pada Masa Perang Kemerdekaan.

Secara rinci perwira alumni Jurusan Sejarah Undip dan Dik Pa PK I 1993 ini mengungkapkan profesi maritim Mas Pardi dimulai pada Zaman Penjajahan Belanda dengan memasuki sekolah pelayaran.

Saat itu, Mas Pardi diterima sebagai perwira di Gouvernement Marine (GM), semacam Coast Guard di masa Hindia Belanda. Ilmu pelayaran yang didapatkannya kemudian ditularkan pada masa pendudukan Jepang dengan menjadi guru Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT).

Setelah Indonesia merdeka Mas Pardi bersama para bahariawan Jakarta membentuk Badan Keamanan Rakyat Laut atau BKR Laut dan setelah badan ini bertransformasi menjadi TKR Laut Mas Pardi diangkat sebagai Pemimpin Umum TKR Laut semacam jabatan KSAL pada saat ini dengan pangkat Laksamana III atau Laksamana Muda untuk ukuran saat ini.

Di tengah situasi yang sulit selama kemerdekaan Laksamana Mas Pardi meletakkan fondasi kekuatan TNI Angkatan Laut dengan mengembangkan pangkalan, armada, pendidikan angkatan laut dan menggelar berbagai operasi laut ALRI selama Perang Kemerdekaan.

Sementara itu, Capt. Hadi Supriyono mengungkapkan peran Mas Pardi di Jawatan Pelayaran atau Ditjen Perhubungan Laut saat ini.

Setelah Perang Kemerdekaan perhatian sang Laksamana tercurah pada pengembangan ilmu pelayaran.

Seperti halnya di angkatan laut pada masa sebelumnya, sejak tahun 1952 perhatian Mas Pardi pada pendidikan pelayaran diimplementasikan pada pendirian Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Jakarta dan Sekolah Pelayaran Semarang (SPS) yang saat ini dikenal sebagai Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang.

Lebih lanjut, dosen senior alumni sekolah pelayaran Del Helder ini menyebutkan bahwa Mas Pardi berupaya agar para pelaut Indonesia menjadi tuan di negara sendiri.

Oleh karena itu, pendidikan perwira pelaut harus terus dikembangkan agar bangsa Indonesia tidak lagi sebatas sebagai awak atau pegawai rendahan (jongos) di kapal.

Kapasitas keilmuan maritimnya tercermin dari buku-buku yang ditulisnya dan menjadi referensi utama di sekolah-sekolah pelayaran seperti Kuasailah Lautan Indonesia (1951) Pesawat Navigasi untuk Sekolah Pelayaran (1954), Almanak Nautika (1965) dan Ilmu Pelayaran Datar (1967).

Sedangkan Dr. Dhanang Respati menyatakan penggalan-penggalan narasi tentang Laksamana Mas Pardi sudah menyuratkan dengan jelas bahwa tokoh ini bukan orang sembarangan.

Namun demikian, alumni S3 Sejarah UGM ini mengingatkan untuk harus menyusun narasi yang lengkap dan komprehensif dalam sebuah buku biografi.

Buku tersebut berisi latar belakang sosial budaya tokoh ini, perjuangan  dan perannya di berbagai bidang kemaritiman di Tanah Air, dan sejauh mana bobot perannya dalam mengembangkan kemaritiman Indonesia.

Latar belakang sosial budaya untuk menjawab pencapaian prestasi Laksamana Mas Pardi.

Berbagai tempat yang menjadi medan baktinya merupakan sumber inspirasi. Sedangkan bobot perjuangannya untuk menentukan kadar perjuangan dan kepahlawanan seorang Mas Pardi.

“Karya ini membutuhkan riset sejarah yang mendalam dan pada waktunya digunakan sebagai bagian dari pengusulan Pahlawan Nasional,” ujar Dhanang Respati. (jpnn)

Komentar