1500 Orang Ditangkap pada 2019 Karena Suarakan West Papua di Indonesia

Jurnalpatrolinews – Jayapura : Sepanjang tahun 2019  pasukan keamanan Indonesia menangkap lebih dari 1.500 orang dalam demonstrasi-demonstrasi damai dan pertemuan-pertemuan yang terkait dengan West Papua.

Hal ini diungkapkan TAPOL dalam laporan tentang Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berserikat di West Papua 2019 yang diterima suarapapua.com pada 13 Agustus 2020.

Pelagio Doutel, TAPOL Campaigner melalui surat elektroniknya menjelaskan pengawasan, intimidasi dan pelecehan, pembubaran protes, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang dan pembunuhan di luar hukum terus berlanjut di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, dan di Indonesia secara lebih luas.

“Semua ini terjadi tahun lalu ketika negara mencoba untuk menindak isu kontroversial penentuan nasib sendiri di West Papua. Yang mengkhawatirkan, Pemerintah Indonesia juga menggunakan taktik baru seperti menutup akses internet dan serangan siber selama protes anti-rasisme dan kerusuhan yang berpuncak pada ‘West Papua Uprising’ (Gerakan West Papua Melawan) di bulan Agustus dan September 2019,” jelasnya.

Tapol mengungkapkan, tahun 2019 lalu, pasukan keamanan Indonesia menangkap lebih dari 1.500 orang dalam demonstrasi-demonstrasi damai dan pertemuan-pertemuan yang terkait dengan West Papua.

Mayoritas dari penangkapan itu terjadi di West Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang berjumlah 1.348 orang. Penangkapan massal terbesar adalah 756 yang terjadi pada bulan September di West Papua selama Gerakan Melawan. Di luar West Papua, tercatat 173 orang yang ditangkap di Bali, Maluku, Maluku Utara, Jawa Timur dan Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Jakarta.

“Pada akhir 2019, 120 orang menjadi terdakwa dengan 86 di antaranya dituduh makar. Penangkapan ini adalah bagian dari taktik polisi dan pihak yang berwenang untuk menindak kegiatan politik terkait dengan penentuan nasib sendiri West Papua,” ungkapnya.

Sementara, kata dia, sebagian besar penangkapan terjadi selama ‘Gerakan West Papua Melawan’, berbagai penangkapan, intimidasi dan pelecehan juga terjadi sepanjang tahun 2019 dengan target kelompok aktivis politik seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) yang sebagian besar merupakan kelompok aktivis politik damai.

Kelompok aktivis non-politik seperti aktivis HAM, Dewan Adat Papua, kelompok perempuan, kelompok mahasiswa, petani dan jurnalis juga mengalami berbagai bentuk pelecehan dari aparat negara. Dalam pembubaran protes yang dilakukan secara paksa pengunjuk rasa mengalami pemukulan dari kelompok nasionalis atau penyiksaan dari aparat keamanan negara.

“Sedikitnya 20 orang tewas dalam aksi intervensi langsung oleh polisi untuk membubarkan protes anti-rasisme di West Papua pada bulan September 2019,” ungkap Pelagio.

Selama Gerakan Melawan, negara Indonesia juga menggunakan metode baru seperti memblokir akses internet di Papua Barat. Menurut pemerintah Indonesia alasannya adalah untuk mencegah penyebaran ‘berita palsu’ atau hoax, namun tujuan sebenarnya adalah untuk mencegah informasi keluar dari West Papua.

“Meskipun metode ini baru pertama kali dipakai oleh negara di Indonesia, hal ini jelas mengikuti pola pelanggaran kebebasan berekspresi dan berkumpul yang telah terjadi di negara-negara lain,” katanya.

TAPOL mendokumentasikan lebih dari 100 kasus insiden pelanggaran kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul di West Papua sepanjang 2019. Dalam laporan West Papua 2019 Freedom of Expression and Freedom of Assembly Report ini.

“Kami bermaksud menyoroti pelanggaran-pelanggaran tersebut dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia serta kepada masyarakat internasional untuk memperhatikan situasi kebebasan berekspresi dan berserikat di Indonesia khususnya di West Papua,” pungkasnya.  (suara papua)