2 TNI Korban Penembakan, Tokoh Papua Anggap Ada Lembaga Pro-Separatis

Jurnalpatrolinews – Jayapura : Dalam setiap kasus konflik penembakan yang terjadi di Papua, tentu hal tersebut akan manarik banyak pihak untuk berspekulasi. Tidak terkecuali pada peristiwa penembakan terhadap pendeta Yeremias Zanambani di Intan Jaya yang dalam investigasinya mengarah pada anggota TNI sebagi pelakunya.

Jagad maya pada saat itu sangat dihebohkan dengan proses dan perkembangan yang terjadi, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa isu rasial ikut terbawa dan dicampur adukkan. Berbagai elemen lembaga pun mencoba turun tangan dan berusaha memaparkan temuannya.

Menanggapi dua kali peristiwa penembakan terhadap dua anggota TNI AD di Intan Jaya (22/1) kemarin, salah seorang Tokoh Papua Franz Korwa dalam keterangannya berpendapat bahwa konflik bersenjata di Papua masih berpotensi terus terulang jika tidak diselesaikan dengan cara-cara yang menyeluruh.

“Permasalahan konflik di Papua ini cukup mengakar, harus diperlukan usaha yang lebih untuk menyelesaikan perkara-perkara ini. Jika tidak, mungkin saja peristiwa-peristiwa semacamnya masih akan terus terulang kembali,” ujar Franz. (22/1)

Meski demikian, Franz beranggapan bahwa keterlibatan tokoh dan para pemimpin adat bisa menjadi solusi awal untuk meciptakan kedamaian, hal ini dikatakannya sebab kehidupan di Papua masih kental dengan adat dan budaya. Oleh sebab itu para tokoh juga harus bisa memposisikan diri sebagai penengah dan panutan.

Walaupun Franz juga menyadari bahwa ada beberapa tokoh dan elemen kelompok yang memposisikan dirinya sebagai bagian dari gerakan prokemerdekaan Papua, meski para tokoh tersebut membungkus gerakannya dengan perumpamaan yang umum di masyarakat.

“Di Papua ini ada Dewan Gereja, atau juga Komite Nasional HAM, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membidangi sosial/kemanusiaan, tapi apa yang mereka lakukan melihat kasus ini? Tidak satupun dari mereka yang memberikan pernyataan sikap atas peristiwa yang terjadi. Padahal sudah ada 2 aparat yang menjadi korban,”

Terkait dengan hal itu, Franz lantas mempertanyakan para pemilik suara yang seolah bungkam atas penembakan yang terjadi di Intan Jaya. Dikatakannya bahwa selalu ada kepentingan-kepentingan yang disembunyikan oleh lembaga tersebut.

“Kalau dilihat, saya tidak yakin mereka bekerja atas kepentingan umum. Ada pilih kasih dan memandangnya untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Ya memang, kalau peritsiwa terjadi dan tidak menguntungkan pihaknya untuk apa dikerjakan, kira-kira seperti itu,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Franz justru mengkritik keras adanya Dewan Gereja dan Komnas HAM yang dikatakannya sedang ‘mati suri’ karena tertutup atas kasus penembakan yang terjadi. Setidaknya sudah dua kali terjadinya penembakan dan mereka tidak sekalipun bereaksi. Menurut Franz kejadian sebelumnya jangan menjadikan masyarakat berpandangan bahwa dua lembaga tersebut tidak memberi arti nyata dan nilai positif.

“Dewan Gereja, tidak terdengar suara dari seorang Socratez atau Benny Giay. Berbeda dengan peristiwa yang lalu, dia mengoceh seperti apa saja. Lalu Komnas HAM, apakah mereka tidak mau membentuk tim investigas seperti peristiwa yang lalu? Padahal kejadiannya masih sama-sama di Intan Jaya,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa penyelesaian konflik adalah tujuan utama yang harus cepat diselesaikan. Sehingga dirinya juga tidak setuju dengan pandangan bahwa bisa dibenarkannya upaya saling serang jika yang menjadi korban bukanlah warga sipil, melainkan KKB ataupun aparat keamanan. Hal ini yang mendorong anggapannya untuk melihat kubu yang berkonflik tetap sebagai diri seorang manusia.

“Jika masih ada pandangan seperti itu maka konflik akan tetap terjadi. Coba lihat dari sisi kemanusiaan bahwa pihak-pihak yang berkonflik sejatinya tetaplah seorang manusia. Hilangkan stigma dalam diperbolehkan melakukan penembakan terhadap aparat atau juga sebaliknya,”.  (Ind Paper)

Komentar