Ada Apa dengan ELT?, Dibalik Masalah, ‘Boeing Tua’ Jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182

JurnalPatroliNews, Jakarta – Semua pesawat Boeing 737 seri classic atau B737 300/400/500 diperiksa satu-persatu oleh Kementerian Perhubungan. Inspeksi ini digelar usai kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Perairan Kepulauan Seribu, Sabtu, 9 Januari lalu. Tujuannya untuk mencegah insiden fatal yang disebabkan masalah di pesawat-pesawat lawas.

Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Adita Irawati, mengatakan inspeksi langsung digelar dua hari setelah SJ-182 jatuh. Pemerintah sebagai otoritas penerbangan memiliki hak preventif untuk melakukan penyelisikan terhadap pesawat-pesawat pabrikan Amerika Serikat tersebut.

“Tidak perlu izin (otoritas penerbangan Amerika Serikat atau FAA) karena ini preventif action kepada pesawat tipe yang sama B737CL yang ada di Indonesia,” ujar Adita kepada rekan media, Kamis, 14 Januari 2021. Inspeksi terhadap pesawat, tutur Adita, lumrah dilakukan oleh negara-negara lain untuk tindakan pencegahan.

Berdasarkan surat Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara atau DKPPU kepada maskapai, pemeriksaan itu meliputi AD (airworthiness directives) compliance atau kepatuhan kelaikan udara, inspeksi rutin, dan major inspection dengan approved maintenance.

Pemeliharaan juga temasuk component replacement status atau status penggantian komponen, Corrosion Preventive Control Program (CPCP) atau program pengendalian pencegahan korosi, SSID, SIP, dan Emergency locator transmitter (ELT).

Di samping itu, inspeksi meliputi pengawasan kerusakan yang berulang atau monitoring repetitive defect, pelatihan pilot yang berkaitan dengan pencegahan cuaca dan upset recovery training, pemeriksaan kecakapan pilot, hingga waktu tugas kru.

Saat ini tercatat sebanyak sepuluh maskapai yang tengah menjalani inspeksi. Sepuluh maskapai yang terdata masih menerbangkan Boeing 737 seri Classic meliputi Sriwijaya Air, NAM Air, Travel Express Aviaton Services, Tri-MG Intra Asia Airlines, My Indo Airlines, Jayawijaya Dirgantara, Citilink Indonesia, Deraya Air, dan Cardig Air.

Boeing 737 Classic seri 300/400/500 diproduksi oleh pabrikan Boeing Co selama periode 1984 hingga 2000. Jumlah produksi yang tercatat sampai saat ini mencapai 1.998 unit. Adapun Boeing 737 SJ-182 milik Sriwijaya Air kini telah memiliki usia operasi 26 tahun.

Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak mengalami kecelakaan di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu, 9 Oktober 2021. Pesawat yang mengangkut 62 penumpang serta kru penerbangan itu jatuh setelah empat menit lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Armada berlogo Ri-Yu ini sempat terdeteksi oleh air traffic controller pada ketinggian 10.900 kaki. Namun, dalam hitungan detik, pesawat terjun ke ketinggian 250 kaki dan dinyatakan hilang kontak.

Mantan investigator senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Frans Wenas, menduga terjadi problem pada pesawat yang ditunjukkan dengan tidak menyalanya sinyal ELT. Sebelum hilang kontak, SJ-182 diketahui tidak memancarkan sinyal yang bisa ditangkap oleh LUT milik Basarnas.

“Sriwijaya kesulitan keuangan, otomatis safety (keamanan jadi berkurang). Meski pesawat laik, perlu dipertanyakan mengapa ELT tidak berfungsi,” ujar Frans saat dihubungi rekan media pada Rabu, 13 Januari 2021.

Kinerja Sriwijaya dalam tiga tahun terkahir terus merosot, termasuk setelah pecah kongsi dengan Garuda Indonesia. Pada 2018, Sriwijaya Air terjerat utang Rp 2,47 triliun kepada sejumlah perusahaan BUMN. Utang Sriwijaya kali itu tiga kali lipat dari asetnya. Keuntungan Sriwijaya Air pun menurun Rp 1,2 triliun.

Menurut Frans, insiden kecelakaan pesawat Sriwijaya Air mirip dengan Adam Air 574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 lalu. Dia melihat cuaca buruk bukan faktor tunggal yang menyebabkan kecelakaan.

“Jadi faktor cuaca adalah contributing, bukan faktor utama (walau) musim hujan memang rawan kecelakaan,” tutur Frans yang menjadi investigator dalam kecelakaan Adam Air belasan tahun silam.

Selain masalah ELT, Sriwijaya Air diduga mengalami problem berulang pada pengaturan daya mesin otomatis autothrottle. Autothrottle merupakan sistem pengatur atau gas yang memungkinkan pilot mengatur kecepatan (speed) dan dorongan (thrust) pesawat secara otomatis. Dalam pengaturan kecepatan, autothrottle berguna untuk mengatur penerbangan pesawat dalam batas yang aman.

Sedangkan pengaturan thrust memungkinkan pilot menyetel kekuatan pendorong pesawat untuk berbagai aktivitas, seperti lepas landas serta menaikkan dan menurunkan ketinggian, juga saat mendarat.

Sumber media yang mengetahui masalah ini mengatakan sistem autothrottle pesawat SJ-182 sudah mengalami masalah berulang. “Autothrottle-nya repetitif sudah sebulan,” katanya kepada Kepada rekan media.

Meski belum ada informasi detail soal autothrottle SJ-182, sumber mengatakan sistem tersebut sudah mengalami persoalan sejak Desember 2020 atau saat pesawat kembali terbang pasca-dikandangkan selama sembilan bulan. Sumber juga menginformasikan bahwa SJ-182 baru saja mengganti mesin pesawat bagian kanannya.

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan pihaknya belum menerima data terkait masalah autothrottle. Namun, dia menerangkan, meski bermasalah, kerusakan dapat diantisipasi dengan pengaturan manual. “Enggak masalah, tinggal pakai tangan seperti zaman dulu,” katanya saat ditemui di Pokso JICT 2, Tanjung Priok, kemarin.

Ihwal adanya ELT yang tidak memancarkan sinyal, Sooerjanto mengatakan masalah itu bisa terjadi karena alat tersebut tidak didesain tahan oleh benturan tinggi. “Kalau toh enggak rusak, dia masuk ke dalam air, enggak bisa transmit,” ucapnya. Proses transmit, kata Soerjanto, hanya bisa dilakukan saat pesawat berada di permukaan. Dalam keadaan darurat, ELT pun membutuhkan waktu transmit 1-1,5 menit sampai bisa terhubungan dengan satelit LUT milik Basarnas.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA Denon Prawiraatmadja menampik masalah-masalah yang dialami SJ-182 berhubungan dengan kondisi keuangan PT Sriwijaya Air. Menurut Denon, kas perseroan tak berpengaruh terhadap kewajiban maskapai menjalankan rutinitas perawatan pesawat. Musababnya, biaya perawatan sudah termasuk dalam kontrak manufaktur saat perusahaan membeli pesawat.

“Jadi saat beli, pesawat enggak lepas dari kontrak maintenance. Cara pembayarannya pun hourly (per jam),” ujar Denon. Denon menerangkan, sesuai dengan kontrak tersebut, pembayaran biaya pemeliharaan pesawat dihitung per penerbangan. Bila pesawat terbang selama satu jam, maskapai akan membayar ongkos perawatan selama satu jam pula.

Sistem pembayaran ini disebut sebagai maintenance reserve. Komponen biaya pemeliharaan, tutur dia, telah dimasukkan dalam unsur pembentuk harga tiket pesawat.

“Jadi dalam harga tiket pesawat itu sudah termasuk biaya maintenance,” katanya. Karena itu, menurut Denon, tak ada alasan perawatan pesawat terhambat karena kinerja keuangan perusahaan.

“Perawatan pesawat bukan seperti mobil, kita beli mobil habis itu kalau perlu perawatan baru ke bengkel,” katanya.

Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Jauwena berkukuh kondisi pesawat sehat sebelum terbang. Pesawat juga telah menjalani pemeliharaan sesuai dengan ketentuan.

“Kondisi pesawat dalam keadaan sehat karena sebelumnya terbang ke Pontianak, (armada) PP dan Pangkalpinang,” ujar Jefferson beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Kementerian Perhubungan menyatakan memastikan Sriwijaya Air SJ 182 dalam kondisi laik udara sebelum terbang. Pesawat jenis Boeing B737-500 tersebut telah memiliki Certificate of Airworthiness (Sertifikat Kelaikudaraan) yang diterbitkan oleh Kemenhub dengan masa berlaku sampai dengan 17 Desember 2021.

(*/lk)

Komentar