Apa Benar Tambang Jadi Biang Kerok Banjir Kalsel?

JurnalPatroliNews – Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Banjir pada Kamis, 14 Januari 2021. Sebanyak 10 kabupaten/ kota di Kalimantan Selatan ini turut terdampak banjir besar ini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung terjun meninjau lokasi terdampak di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Senin (18/01/2021).

Jokowi menyebut ini merupakan banjir terbesar dalam kurun waktu 50 tahun terakhir di Provinsi Kalimantan Selatan. Saat kunjungan tersebut, Jokowi mengungkapkan bahwa curah hujan yang tinggi dan mencapai 10 kali lipat dari daya tampung Sungai Barito membuat air tak tertampung dan akhirnya meluap menyebabkan banjir besar ini.

Dia mengatakan, daya tampung Sungai Barito sebesar 230 juta meter kubik, sementara air yang masuk mencapai 2,1 miliar kubik.

Foto: Presiden Joko Widodo meninjau sungai Martapura dari jembatan Pakauman yang berada di Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. (Dok: Biro Pers – Sekretariat Presiden)

“Sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air, sehingga memang menguap di 10 kabupaten dan kota,” jelasnya saat kunjungan ke lokasi terdampak banjir di Kelurahan Pekauman, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Senin lalu (18/01/2021).

Namun, Jokowi tidak menuturkan ada penyebab lain selain tingginya curah hujan dan debit air tersebut. Lantas, apakah benar tingginya curah hujan dan debit air hanya menjadi satu-satunya penyebab banjir ini?

Pernyataan Jokowi tersebut disayangkan oleh sejumlah pegiat lingkungan.

Menurut Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, banjir besar di Kalsel ini bukan lah hanya karena faktor tingginya curah hujan, melainkan ada faktor lebih utama yang melatari kejadian ini, yakni membludaknya Izin Usaha Pertambangan dan juga besarnya kebun sawit di provinsi ini.

“Jokowi ke Kalsel kalau hanya menyalahkan hujan dan sungai, mending gak usah ke Kalsel. Padahal sudah sering Walhi Kalsel ingatkan bahwa Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Kalsel dengan luas 3,7 juta Ha, ada 13 kabupaten/ kota, 50% Kalsel sudah dibebani izin tambang 33% dan perkebunan kelapa sawit 17%, belum HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan),” bebernya kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/01/2021).

Selain carut marut tata kelola lingkungan dan sumber daya alam, rusaknya daya tampung dan daya dukung lingkungan, termasuk tutupan lahan dan daerah aliran sungai (DAS), menurutnya banjir kali ini juga sudah bisa diprediksi terkait cuaca oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

“Dan pemerintah lagi-lagi tidak siap dan masih gagap. Akhirnya, rakyat lagi yang menanggung akibatnya. Sudah pandemi Covid, dihajar banjir, sudah jatuh ketimpa tangga,” keluhnya.

“Saya mendesak agar Pemerintah baik Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk segera turun tangan dan segera bertindak. Menetapkan status darurat dan benar-benar serius dan tidak gagap dalam penanganannya,” imbuhnya.

Berdasarkan data Walhi Kalsel, dari luas hutan 3,7 juta hektar tersebar di 13 kabupaten/ kota Kalsel, sekitar 1,22 juta hektar telah dikeluarkan izin tambang, 620 ribu hektar untuk sawit, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) 567,8 ribu hektar, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) 234,5 ribu hektar, hutan primer 89,2 ribu hektar, dan hutan sekunder 581,2 ribu hektar.

Hal senada diungkapkan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho. Dia mengatakan, pihaknya menduga salah satu penyebab banjir besar di Kalsel ini yaitu rusaknya ekosistem lingkungan, dalam hal ini daya dukung lingkungan.
“Dalam hal ini, kami menduga, kombinasi antara hilangnya tutupan kawasan hutan akibat alih fungsi kawasan hutan, khususnya pertambangan dan perkebunan, tumpang tindih kawasan hutan dengan kawasan pertambangan, buruknya tata ruang, rusaknya kawasan hutan di hulu maupun daerah aliran sungai (DAS),” paparnya.

Tak tanggung-tanggung, menurutnya membludaknya jumlah Izin Usaha Pertambangan selama satu dekade terakhir ini menjadi penyebab utama bencana ini.

“Kami menduga buruknya tata kelola pertambangan sepanjang satu dekade terakhir menjadi salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem lingkungan ini,” ujarnya.

Dia mengatakan, koordinasi dan supervisi (Korsup) Sektor Minerba yang diinisiasi KPK sepanjang 2014-2019 menemukan sejumlah masalah, termasuk di Provinsi Kalimantan Selatan.

Dia menyebutkan, temuan Korsup KPK 2014-2019 di Kalsel antara lain:
1. IUP Non CnC (Clean and Clear) 441 (tahun 2014)
2. IUP Habis Masa Berlaku per Desember 2016 sebanyak 546, setara 591 ribu Ha
3. Tumpang tindih IUP dengan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
4. IUP belum menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang

Meskipun sepanjang 2014-2019 sejalan dengan pelaksanaan Korsup telah dilakukan pencabutan IUP Non CnC maupun penagihan jaminan reklamasi, namun menurutnya masih menimbulkan pertanyaan, bagaimana status lahan IUP yang dicabut, siapa yang bertanggung jawab ketika ada kerusakan dengan IUP yang dicabut tersebut? Bagaimana tindak lanjut persoalan tata kelola pertambangan pasca Korsup Minerba KPK yang berakhir 2019 tersebut?

“Akibatnya, satu dekade tata kelola pertambangan yang buruk bisa kita lihat ini, banjir besar di Kalimantan Selatan,” ujarnya.

“Tanpa adanya upaya perbaikan tata kelola pertambangan, termasuk perkebunan, kehutanan dari hulu sampai hilir, persoalan banjir tidak akan selesai,” imbuhnya.

Organisasi di bidang lingkungan, yakni Greenpeace pun berpendapat serupa. Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menuturkan pihaknya juga berpendapat bahwa penyebab deforestasi terbesar di Kalimantan saat ini yaitu perkebunan sawit dan pertambangan batu bara.

Di area DAS Barito tutupan hutan menurutnya sudah di bawah 50%, sedangkan di area DAS Maluka, tutupan hutan bahkan tidak sampai 1%.

“Jadi, kita lihat masifnya ekspansi industri ekstraktif, baik sawit maupun batu bara telah menghancurkan daya tahan lingkungan,” ujarnya.

Dia mengatakan, pelepasan izin yang masif dilakukan selama 10 tahun terakhir telah nyata dengan melihat dampaknya saat ini.

“Bencana yang kita saksikan saat ini adalah kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Alih-alih industri ekstraktif digadang-gadang menjadi prioritas ekonomi Indonesia, justru menimbulkan kehancuran ekologis,” pungkasnya.

(cnbc)

Komentar