Atasi Kawasan dan Tanah Telantar Melalui RPP Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar

Jurnalpatrolinews – Jakarta : Permasalahan pertanahan di Indonesia terjadi karena maraknya penelataran tanah, yang umumnya dikuasai oleh badan usaha/perusahaan swasta maupun perorangan. Munculnya status kawasan dan tanah telantar terjadi karena pemilik tanah tidak memanfaatkan, tidak mengusahakan, tidak mempergunakan atau tidak memelihara tanahnya. Tidak jarang, hal ini menimbulkan sengketa dan konflik pertanahan. Guna mengantisipasi terjadinya sengketa dan konflik pertanahan, pemerintah sudah berupaya dengan melakukan percepatan pendaftaran tanah guna memberikan kepastian hukum atas tanah.

Pemerintah sendiri tidak mudah mengambil alih kawasan dan tanah yang berstatus telantar tadi, dan kebanyakan usaha bersidang di pengadilan berujung dengan kegagalan. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UUCK, dalam pasal 180 sudah menegaskan bahwa apabila hak, izin, atau konsesi atas tanah atau kawasan yang sengaja tidak usahakan atau ditelantarkan pemiliknya dalam jangka waktu 2 tahun sejak diberikan akan dikembalikan kepada negara.

“Ini yang melatarbelakangi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar karena kami menyadari kurang optimalnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam mengatur tanah telantar,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR), Budi Situmorang pada kegiatan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan RPP Turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Selasa (12/01/2021).

Budi Situmorang mengatakan bahwa selain UUCK Pasal 180, Kementerian ATR/BPN memang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Menurutnya ada lima hal yang disasar dalam revisi PP tersebut. “Tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pertanahan, menjamin kepastian hukum, mewujudkan kepatuhan atas aturan, mewujudkan kemanfaatan atas tanah, serta memperkuat fungsi sosial hak atas tanah,” ungkap Dirjen PPTR.

“Apabila yang ditelantarkan dibawah 25 persen maka hak atas tanah bagian yang ditelantarkan akan hilang dan pemiliknya dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang tanah. Kemudian setelah UUCK terbit, apabila terdapat sebagian tanah yang ditelantarkan akan mengakibatkan hapusnya hak atas tanah atau hak pengelolaan pada bagian tanah yang ditelantarkan namun tidak mengakibatkan terhapusnya hak atas tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian tanah yang tidak ditelantarkan,” ujar Dirjen PPTR.

RPP Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar juga mengatur mengenai objek kawasan telantar serta objek tanah telantar. Budi Situmorang menyebutkan bahwa yang menjadi objek kawasan telantar adalah kawasan industri, kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan pariwisata serta kawasan lain yang pengusahaannya didasarkan pada izin, konsesi atau perizinan berusaha. Untuk objek tanah telantar adalah tanah hak milik, tanah hak pengelolaan, tanah Hak Guna Bangunan (HGB), tanah Hak Guna Usaha (HGU), tanah Hak Pakai serta tanah yang diperoleh atas dasar penguasaan.

Hal tersebut diakibatkan karena memang pemilik dengan sengaja tidak mempergunakan/tidak memanfaatkan/tidak mengusahakan/tidak memelihara tanahnya. “Yang dimaksud dengan sengaja di sini adalah apabila memang secara de facto, pemegang hak atas tanah tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan atau tidak memelihara tanah sesuai dengan pemberian haknya atau rencana pengusahaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” jelas Dirjen PPTR.

Budi Situmorang mengungkapkan bahwa RPP Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar ini memuat 8 bab, 45 pasal serta penjelasan. “Draf terakhir RPP ini per tanggal 8 Januari 2021, yang sudah memuat masukan dari akademisi, instansi serta asosiasi. Berbagai masukan yang diperoleh merupakan hasil dari pelaksanaan Serap Aspirasi, Portal Cipta Kerja yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Focus Group Discussion (FGD) dengan para pakar maupun surat tertulis,” ungkap Dirjen PPTR.

Kegiatan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan RPP Turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini dihadiri langsung oleh Sekjen Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto; Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Agraria, Andi Tenrisau; Dirjen PPRT, Budi Situmorang; Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Pengadaan Tanah, Arie Yuriwin; Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing Sodikin; Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Kelembagaan, Teuku Taufiqulhadi; Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan II Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmi; serta perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dengan memperhatikan protokol Covid-19. Kegiatan ini juga dihadiri Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil dan peserta dari kementerian/lembaga lain melalui video conference.

Komentar