Awal 2021 Siap Diimplementasikan, Luhut Beberkan Alasan Indonesia Hadirkan Omnibus Law

JurnalPatroliNews – Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa awal 2021, puluhan aturan turunan Undang-undang (Omnibus Law) Cipta Kerja siap diimplementasikan.

Sejauh ini, pemerintah telah menyelesaikan identifikasi 44 aturan turunan UU Cipta Kerja dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres). Luhut bilang, pemerintah masih terus melakukan identifikasi terhadap aturan turunan lainnya agar bisa diimplementasikan sesuai target.

“Saat ini sekitar 44 peraturan pelaksana (aturan turunan Omnibus Law) telah diidentifikasi dan targetnya siap diimplementasikan pada tahun 2021,” ungkap Luhut dalam webinar internasional bertajuk ‘Indonesia Omnibus Law for a Better Business, Better World, Senin (30/11).

Selain itu, sambung Luhut, seluruh regulasi terkait Sovereign Wealth Fund (SWF) diperkirakan rampung dan siap diberlakukan pada Januari mendatang.

“Pada bulan Januari secara efektif Sovereign Wealth Fund sudah ada,” sambungnya.

Luhut pun membeberkan alasan Indonesia menghadirkan Omnibus Law sebagai regulasi pakemnya. Sebab, Indonesia selama ini terkenal sebagai negara yang paling rumit untuk berbisnis. Segala upaya telah dilakukan untuk memberi kemudahan bisnis, namun tetap tak berjalan dengan baik. Akhirnya, UU sapu jagat ini jadi pilihan.

“Indonesia negara yang sangat rumit untuk berbisnis, kami sangat jujur untuk ini, jadi itulah semua alasan di balik Omnibus Law, kami bekerja sangat keras untuk melakukannya,” tuturnya.

Di sisi lain, banyak aturan yang tumpang tindih antara aturan pusat dan daerah. Lalu, masih banyaknya kartel, praktik monopoli pada sektor bisnis strategis, serta budaya korupsi di sektor swasta yang perlu dibenahi. UU Cipta Kerja ini dianggap sebagai solusinya.

“Ini agar memudahkan investor ke Indonesia,” imbuhnya.

Selain itu, izin usaha juga masih terlampau rumit. Terlampau banyak izin dari puluhan lembaga yang harus dipenuhi. Untuk itu, pemerintah ingin melakukan penyederhanaan izin usaha berbasis risiko yang meliputi risiko rendah, menengah, dan tinggi.

“Terlalu banyak izin, bayangkan sampai ada 521 izin dari 25 lembaga dan lain sebagainya, sekarang kami banyak berubah, Anda bisa melihat seberapa banyak perubahan di Indonesia,” paparnya.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, registrasi untuk kegiatan usaha berisiko rendah kini hanya butuh Nomor Induk Berusaha (NIB).

Kemudian, kegiatan usaha berisiko menengah rendah memerlukan NIB dan standar sertifikasi yang dinyatakan oleh bisnis tersebut bahwa telah memenuhi sejumlah standar, seperti standar lingkungan. Sedangkan, kegiatan usaha berisiko menengah tinggi memerlukan sertifikasi standar yang diverifikasi dengan proses uji tuntas oleh pemerintah.

Sementara, usaha berisiko tinggi memerlukan NIB dan izin pemerintah. Untuk mendapatkan izin pemerintah, diperlukan Amdal sebagai prasyarat.

“Jangan salah mengerti tentang ini, masyarakat pikir tidak ada Amdal. Amdal masih ada untuk risiko tinggi,” timpalnya.

(*/lk)

Komentar