Bukankah “Founding Fathers” Kita Dialam Baka Justru akan Bangga Manakala “Melihat” Penerusnya Mampu Mengelola Warisan NKRI dengan Cerdas

Surat Terbuka Untuk Presiden Joko Widodo    (Tulisan ke – 7 / Habis)

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

 

Bapak Presiden Joko Widodo Yang Terhormat,

 Memang betul bapak telah melakukan banyak perubahan dalam rangka mengembalikan peran negara sebagaimana niat dan tujuan awal “Founding Fathers” mendirikan negara. Namun karena kerusakan dalam tata kelola kenegaraan dan kebangsaan terlanjur begitu parah dan telah sudah merambah disemua aspek kehidupan, lantas jaminan darimana kalau Pemerintahan hasil Pemilu 2024 kelak akan melanjutkan perubahan yang telah bapak rintis.

Maka hal terpenting pada sisa masa pemerintahan 4 tahun kedepan adalah bagaimana bapak bisa membuat LEGACY yaitu warisan mulia dalam bentuk aturan main kenegaraan yang membuat pengganti bapak, siapapun ia niscaya melanjutkannya.

Menjadikan Pancasila Sebagai Sistem Nilai Melalui Amandemen UUD Kelima.

 Sungguh menyesatkan kalau diantara kita terus berpandangan seolah generasi penerus  tidak bisa berpretasi lebih baik dari orang tua pendahulu kita.  Bukankah “Founding Fathers” kita dialam baka justru akan bangga manakala “melihat” penerusnya mampu mengelola warisan NKRI dengan cerdas sesuai dengan tuntutan jaman kekinian. Sebaliknya mereka menjadi “sedih” karena melihat penerusnya begitu tak berdaya terhadap belenggu sistem yang dulu diwariskannya.

Padahal diumurnya yang ke 75 tahun kini banyak sekali putra bangsa yang berpendidikan tinggi bahkan berstrata S-3 (PhD) pada semua disiplin ilmu. Disisi lain, berkat kemajuan ilmu pengetahuan kini dengan mudahnya kita menjabarkan pemikiran cerdas pendahulu kita. Dengan kemajuan IT, maka apa yang dulu digagas “Founding Fathers” tentang ekonomi kerakyatan dimana konsumen sekaligus pemilik usaha dengan mudahnya kini bisa diwujudkan dalam bentuk rakyat berjejaring. Bahkan nilai luhur yang dikandung dalam Sila ke 4 Pancasila yaitu  “Kerakayatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawatan /Perwakilan” untuk kekinian sudah umum diterapkan di banyak negara yang justru tidak mengenal Pancasila.

Dalam pembahasan sebuah RUU sendiri, dibanyak  negara kini tidak lagi dikerjakan oleh anggota DPR yang tergabung dalam Pansus maupun Panja, tapi oleh STAF AHLI DPR yang umumnya S-3. Memang betul anggota DPR dalam pengambilan putusan dilakukan dengan menekan tombol merah untuk menolak, hijau  untuk setuju dan kuning untuk abstain atau tidak bersikap. Tapi materi RUU tersebut telah dibahas melalui proses musyawarah para AHLI (Penulis selaku mantan Anggota Komisi II DPRRI saksikan sendiri saat “STUDY BANDING” di Parlemen beberapa negara di Eropah salah satunya di Parlemen Chekoslowakia, pada tahun 1996).

Yang pasti, bukanlah HIKMAH dan atau KEBIJAKSANAAN kalau dalam dalam membahas sesuatu apalagi sebuah RUU tidak dilandasi oleh akal sehat, ilmu pengetahuan dan rujukan referensi yang kuat.  Tegasnya rumus darimana nilai “Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan  Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” akan terwujud kalau yang membahas RUU adalah Anggota DPR yang tidak ada latar belakangan keahlian sesuai dengan materi RUU yang dibahasnya. Lantas jaminan darimana kalau makna RES-PUBLICA tidak berubah menjadi RES-MAJORITAS dan RES-NEGARA menjadi RES-GOLONGAN.

Dalam membahas RUU Pertahanan umpamanya, bagaimana mungkin anggota DPR yang tanpa pernah belajar Ilmu Pertahanan bahkan lulusan Akademi TNI pun tidak, bisa adu argumentasi dalam pembahasan RUU Pertahanan, TNI dan sejenisnya. Hal yang sama juga dijumpai dalam sejumlah referensi bagaimana sejumlah negara dalam melakukan amandemen UUD dimana Rancangan Perubahan UUD nya, dimanapun dirumuskan dan dibahas oleh Tim Ahli Non Partisan, adapun yang memutuskan tetap oleh Lembaga Negara yang berwenang  (Di Indonesia adalah  MPR).

Adapun LEGACY yang dimaksudkan diatas adalah UUD yang baru yang dibentuk melalui amanden UUD Ke-5 yang didalamnya berisi Sistem Kenegaraan yang secara utuh dan menyeluruh didasarkan dan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang dirancang secara sistemik dan konstitutif.

Dengan demikian  UUD kita kedepan benar-benar ber “DNA” Pancasila dan kelak UU dan turunannya otomatis juga akan didasari dan dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Maka kelak Pancasila akan menjelma sebagai sistem nilai, sehingga nilai-nilai yang datang kemudian otomatis akan terfilter dengan sendirinya.

Langkah Strategis Yang Perlu Ditempuh Pemerintah.

 Beranjak dari kontrak sosial yang bapak usung dalam kampanye Pemilu 2019 yang lalu, memang tidak ada tawaran untuk melakukan amandemen UUD yang kelima. Namun Pemerintah bisa saja mendorong segenap lapisan masyarakat untuk kembali melakukan amademen UUD untuk menyusun UUD yang baru sebagaimana yang diamanatkan oleh  “Founding Fathers” yang disampaikan oleh Bung Karno pada pengesahan UUD-1945 didepan sidang PPKI tanggal 18-Agustus-1945.

Untuk itu Pemerintah dalam waktu 1 tahun selambat-lambatnya 2 tahun kedepan melalui Lembaga Kajian yang ada seperti Wantanas atau Lemhanas atau dengan membentuk badan baru yang bersifat ADHOC untuk menyiapkan Rancangan Perubahan UUD yang dibikin oleh sebuah TIM yang terdiri dari PARA AHLI NON PARTISAN. Dengan demikian produk yang dihasilkan kelak betul-betul mengedepan makna kedaulatan rakyat, kebhinekaan, kepentingan bangsa dan negara tanpa mengabaikan kepetingan golongan dan daerah.

Dengan modal Konsep Rancangan Perubahan UUD termaksud, pada Sidang MPR tahunan menjelang 17 Agustus 2021 atau paling lambat pada Sidang MPR menjelang 17 Agustus 2022 Pemerintah kemudian mengajak segenap Anggota MPR untuk kembali melakukan Amandemen UUD dengan waktu paling lama 2 tahun diujung masa bhakti mereka. Dan dalam keadaan teetentu, bisa saja dengan Referendum yang didahului dengan penerbitan UU atau Perppu khusus untuk minta persetujuan untuk melakukan amandenen UUD.

Program Aksi Yang Diperlukan.

 Agar missi mulia tersebut tidak terhambat oleh mekanisme demokrasi model lama, maka Pemerintah perlu mengambil langkah PRO-AKTIF untuk merevisi UU Tentang MD-3,  untuk mengubah mekanisme pembahasan rancangan Putusan MPR yang tidak lagi dengan membentuk Panitya AD-HOC yang terdiri dari sejumlah Anggota MPR, tapi diubah oleh TIM AHLI yaitu sejumlah Staf Ahli DPR dan DPD.

Begitu juga dalam hal pembahasan RUU, kedepan tidak lagi dikerjakan oleh Pansus dan Panja yang terdiri dari anggota DPR, tapi dilakukan oleh Staf Ahli DPR yang statusnya Non Partisan dan juga untuk mengatur keberadaan Staf Ahli DPR dan DPD. Hasil pembahasan para ahli tersebut kemudian disosialisasikan kepublik langsung maupun melalaui infra struktur politik yang ada juga oleh Tim Ahli DPR. Dan sebuah RUU baru bisa di DPR untuk proses lebih lanjut manakala  telah lolos penyaringan (Filter) Tim Ahli Universitas / Perguruan Tinggi ternama sesuai dengan disiplin ilmu andalan masing-masing.  Sedang proses dinternal DPR sudah barang tentu lewat Komisi terkait dan  setelah lolos di tingkat Komissi, baru dibawa ke Sidang Paripurna DPR untuk mendapat PERSETUJUAN.

Disamping itu, bapak perlu meyakinkan semua pihak atas kecintaan dan ketulusan bapak terhadap negeri ini serta kesungguhan bapak dalam menyelamatkan masa depan dan peradaban bangsa, maka perlu diterbitkan PERPPU tetang PEMBUKTIAN TERBALIK dengan batasan tertentu agar segala residu masa lalu segera bisa diakhiri.

Disamping itu, Pemerintah juga perlu membentuk Lembaga Percepatan Reformasi IT yang berstatus AD-HOC langsung dibawah Presiden untuk melakukan perubahan manajemen birokrasi dengan menggunakan IT sebagai “back-bone” nya. Karena tanpa penangana khusus mustahil birokrasi yang ada akan melepas sejumlah keuntungan akibat keruwetan tata laksana birokrasi dimana IT masih sebatas sebagai pengganti mesin ketik dan kurir.

Dan sesungguhnya untuk mewujudkan maksud tersebut tidak membutuhkan anggaran yang besar-besar amat, karena saran dan prasaran IT sesungguhnya telah tergelar disemua lini birokrasi pemerintahan negara. Padahal “out put“ yang bakal diperoleh akan mengubah secara fundamental moral dalam bentuk perilaku birokrasi, karena semua-semua menjadi terbuka (Transparan) dan pengelola negara dipaksa untuk jujur, tak terkecuali dalam pengelolaan Dana APBN, Pajak, Cukai, Tanah, Tambang, Hutan, Hukum dan pelayanan publik lainnya.

Dengan demikian ajakan bapak untuk melakukan amandemen UUD 1945 yang ke 5 niscaya akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya upaya pihak tertentu yang hendak menghambatnya, otomatis akan menjadi sia-sia.

Komentar