Corona Semakin Menggeliat, Rupiah Harusnya Menguat, Tapi Tampaknya Lemah Syahwat.!!

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun rupiah masih galau di perdagangan pasar spot.

Pada Jumat (4/12/2020), kurs tengah BI atau kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.182. Rupiah melemah tipis 0,04 % dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar spot, laju rupiah tertahan. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.100, sama persis dengan posisi hari sebelumnya alias stagnan.

Sejatinya rupiah punya ruang untuk menguat. Sebab di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF), rupiah bergerak menguat.

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.

Mata uang Tanah Air belum bisa menggapai potensinya untuk menguat karena investor (dan seluruh masyarakat) cemas akan perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Per 3 Desember 2020, jumlah pasien positif corona di Indonesia adalah 557.877 orang. Bertambah 8.369 orang (1,52%) dibandingkan posisi hari sebelumnya. Tambahan lebih dari 8.000 pasien dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak virus corona mewabah di Ibu Pertiwi.

Dalam 14 hari terakhir (20 November-3 Desember 2020), rata-rata pasien baru bertambah 5.311 orang dalam sehari. Naik tajam dibandingkan 14 hari sebelumnya yatu 4.123 orang per hari.

Laju pertumbuhannya juga semakin cepat. Dalam dua minggu terakhir, pasien baru bertambah rata-rata 1,03% per hari. Lebih tinggi ketimbang dua pekan sebelumnya yakni 0,91% setiap harinya.

Pelaku pasar khawatir jika kondisinya tidak kunjung membaik maka pemerintah akan kembali memperketat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pengetatan PSBB sama saja dengan menyuntik mati aktivitas ekonomi.

Sudah terbukti bahwa pengetatan PSBB di DKI Jakarta pada pertengahan September 2020 membuat ekonomi mati suri. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Purchasing Managers’ Index (PMI), sampai penjualan ritel ambruk.

Selepas PSBB dikendurkan lagi, kegiatan ekonomi mulai bangkit. PMI manufaktur Indonesia kembali di atas 50 pada November 2020, pertanda bahwa dunia usaha mulai kembali berekspansi.

Namun kalau kasus corona terus-terusan melonjak, maka kesehatan dan keselamatan jiwa tentu jadi prioritas utama. Bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali menegakkan PSBB secara murni dan konsekuen. Aktvitas sosial-ekonomi harus mengalah, sehingga Indonesia kian sulit lepas dari jerat resesi.

Benturan antara pelemahan dolar AS dan lonjakan kasus corona membuat langkah rupiah menjadi tidak menentu. Investor yang memilih wait and see membuat penguatan mata uang Tanah Air tertahan.

(*/lk)

Komentar