Covid-19: Kalung ‘Antivirus’ Buatan Kementan Kini Disebut ‘Kalung Aromaterapi’ dan ‘Aksesoris Kesehatan’, Pakar Farmakologi Sebut Berpotensi ‘Misleading’

JurnalPatroliNews,– Kementerian Pertanian menarik klaim bahwa kalung yang berisikan senyawa eucalyptol dari tumbuhan kayu putih bisa membunuh virus corona penyebab Covid-19. Meski demikian, pakar farmakologi mengatakan klaim yang sudah terlanjur diberitakan tersebut berpotensi menyesatkan masyarakat.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Fadjry Djufry mengatakan Balitbang Kementan baru meneliti senyawa tersebut di laboratorium, atau in vitro, dan belum melalui uji pra-klinis dan uji klinis “yang paling sedikit butuh waktu 18 bulan.”

“Kita menerima secara baik [kritik dan masukan tersebut] dan ini menjadi masukan untuk produk kita ke depan, karena ini masih ongoing, penelitiannya masih perlu dilanjutkan dengan lebih dalam lagi, karena kita masih bicara [soal hasil penelitian in vitro, di laboratorium,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Fadjry Djufry di hadapan wartawan (06/07).

Secara umum, Mayagustina Andarini, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan bahwa BPOM tidak akan menyetujui ijin edar suatu obat herbal yang mengklaim bisa menyembuhkan Covid-19 jika belum ada buktinya.

“Kalau produk [herbal] tersebut diklaim bisa menyembuhkan Covid 19 tentu saja harus ada buktinya, evidence-based-nya dengan uji klinis,” kata Mayagustina.

“Mungkin ini yang dilakukan beberapa obat herbal sekarang, mereka sedang menjalani uji klinis di rumah sakit. Nanti kita lihat hasilnya seperti apa. BPOM tidak akan memberikan persetujuan terhadap klaim tertentu kalau buktinya tidak ada,” ujarnya kemudian.

Sementara itu pakar farmakologi klinis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Nafrialdi mengatakan bahwa klaim kalung itu bisa menangkal penyebaran virus corona berpotensi menyesatkan masyarakat.

“Yang bahayanya kalau orang sudah merasa aman dengan [memakai kalung] itu, terus dia tidak pakai masker, yang bahayanya di situ,” ujarnya.

Kalung ‘antivirus’ corona ini menambah deretan obat-obatan herbal, tradisional, dan aksesoris kesehatan yang belum terbukti secara klinis mampu menangkal penyebaran atau mengobati Covid-19.

Di antara obat herbal yang disebut adalah propolis atau lem lebah, tanaman empon-empon, ramuan herbal buatan DPR yang diberi nama Herbavid-19, roll on dan inhaler eukaliptus.

Ada juga lima kombinasi obat, termasuk hidroksiklorokuin, yang diusulkan peneliti Universitas Airlangga di Surabaya meskipun uji coba perawatan darurat Covid-19 dengan menggunakan hidroksiklorokuin sudah dihentikan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini.

Apa kata Kementerian Pertanian?

Fadjry Djufry mengatakan bahwa Balitbang Kementan telah melakukan riset senyawa eucalyptol dan khasiatnya dalam penanganan virus corona sejak pandemi masuk ke Indonesia pada Maret lalu.

“Setelah kita dapatkan bahan aktifnya, kita destilasi sendiri, didapatlah ekstrak dari minyak eucalyptus, setelah kita dapat, kita uji di Balai Besar Penelitian Veteriner yang kita punyai, karena memang di balai besar ini, terkait dengan penyakit zoonosis, itu kita punya koleksi [tanaman eukaliptus] yang cukup banyak,” kata Fadjry, yang dalam jumpa pers mengenakan kalung ‘antivirus’ corona dan menunjukkan beberapa produk Balitbang Kementan lainnya seperti roll on dan balsem eukaliptus.

Tanaman eukaliptus sering diartikan masyarakat Indonesia sebagai kayu putih, meskipun genus eukaliptus memiliki lebih dari 900 jenis di dunia, salah satunya adalah kayu putih, jelasnya.

Menurut Fadjry, kalung yang mengandung senyawa eukaliptus tersebut adalah “kalung aromaterapi” dan merupakan “aksesoris kesehatan.”

“Isi kalung aromaterapi eukaliptus ini sama isinya dengan roll on [eukaliptus]. Ini kan aksesoris kesehatan, kita bisa hirup dan di skala laboratorium itu bisa membunuh virus corona, dalam skala laboratorium, yang ada di sekitar kita,” ujarnya.

Fadjry mengatakan bahwa tiga produk berbahan eukaliptus Balitbang Kementan –roll on, inhaler, dan kalung aromaterapi- telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai jamu. Dari ketiganya, baru roll on dan inhaler yang telah mendapatkan ijin edar, sementara untuk kalung tersebut “masih berproses” di BPOM.

Ia juga membantah bahwa Kementan mengklaim bahwa kalung tersebut adalah obat Covid-19, meskipun di kalung tersebut terdapat tulisan ‘anti virus corona.’

“Saya tidak mengklaim [kalung dapat mematikan virus corona penyebab] Covid-19 karena kita tidak menguji kepada Covid-19. Kita hanya menguji pada corona model, karena kita punya alfa corona, kita punya beta corona, kita punya gamma corona, ada delta corona. Covid-19 ini bagian dari beta corona,” ujar Fadjry.

Fadjry mengatakan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai obat yang efektif, sebuah obat harus menjalani uji pra-klinis dan klinis.

Senyawa eukaliptus yang telah diekstraksi oleh Balitbang Kementan tersebut rencananya akan “melalui tahapan uji pra-klinis dan klinis dalam waktu tidak lama” bekerja sama dengan FKUI dan FK Universitas Hasanuddin di Makassar.

Apa syarat obat tradisional diijinkan beredar?

Mayagustina Andarini, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik di BPOM mengatakan bahwa suatu obat tradisional bisa beredar asalkan obat itu memiliki ijin produksi dan telah menerapkan cara pembuatan obat tradisional sesuai aturan.

“Produk yang akan didaftarkan tersebut harus memenuhi persyaratan dan ketentuan, secara standar dan regulasi mengenai obat tradisional. Di situ ada bahan yang diperbolehkan dan yang dilarang, itu ada semua [di regulasi]. Kemudian pengkategorian, lalu peringatan yang juga harus ada di label, itu semua ada standarnya,” kata Mayagustina.

Mayagustina mengatakan aksesoris kesehatan juga harus mengikuti standar dan regulasi yang telah ditetapkan BPOM bagi obat herbal.

“Apapun produk yang memiliki efek farmakologis kalau itu terbuat dari bahan alam, itu masuk dalam obat herbal yang harus didaftarkan di Badan POM dan mendapat ijin edar,” jelasnya.

Sebelum mendapatkan ijin edar, setiap obat herbal harus memiliki data dukung mengenai khasiat dan manfaat obat tersebut. Data dukung itu, kata Mayagustina, bisa merupakan data empiris, atau “riwayat turun temurun dari nenek moyang kita bahwa produk tersebut bisa bermanfaat untuk sesuatu, itu boleh.”

Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, sejumlah obat herbal dan tradisional diklaim dapat menangkal penyebaran atau menyembuhkan Covid-19, atau membunuh virus corona penyebabnya. Menanggapi hal ini, Mayagustina mengatakan bahwa obat herbal dan tradisional tidak akan menyetujui klaim tersebut jika tidak ada uji klinisnnya.

“Kalau produk [herbal] tersebut diklaim bisa menyembuhkan Covid 19 tentu saja harus ada buktinya, evidence-based-nya dengan uji klinis. Mungkin ini yang dilakukan beberapa obat herbal sekarang, mereka sedang menjalani uji klinis di rumah sakit. Nanti kita lihat hasilnya seperti apa. BPOM tidak akan memberikan persetujuan terhadap klaim tertentu kalau buktinya tidak ada,” kata Mayagustina.

“Harus diuji dulu secara klinis. Kalau sudah ada buktinya, misalnya produk itu sudah diuji secara klinis dan kita setujui, ya boleh saja dia mengklaim seperti itu,” imbuhnya.

‘Jangan asal klaim’

Pakar farmakologi klinis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Nafrialdi mengatakan bahwa prosedur obat herbal untuk mendapatkan ijin edar dari BPOM “lebih mudah” ketimbang obat kimia.

“Kalau obat herbal itu prosedurnya lebih mudah dibanding obat chemical karena statusnya kebanyakan adalah suplemen,” ujar Nafrialdi.

“Umumnya [obat] herbal itu memang aman, namun [proses] pembuktian efektivitasnya tidak seperti obat klinis, makanya mudah. Makanya sekarang kita lihat banyak suplemen-suplemen beredar karena syarat pendaftarannya [di BPOM] tidak sesulit obat chemical.”

Meskipun demikian, Nafrialdi mengatakan bahwa klaim ‘antivirus’ yang sudah terlanjur disematkan ke kalung aromaterapi buatan Balitbang Kementan tersebut, dan sudah dimuat oleh sejumlah media massa, berpotensi menyesatkan. Ia mengatakan beberapa orang mungkin mempercayai klaim ini dan menanggalkan pemakaian masker karena kalung ini dianggap berpotensi menangkal penyebaran virus corona.

“Bahayanya yang [orang] tidak pakai maskernya itu, misleading dia sebetulnya.”

“Orang itu merasa sudah ada yang membentengi [dia dari virus corona], kalungnya itu. Tapi tidak ada bukti, itu tidak logis juga ya sebenernya, obat yang kita konsumsi saja, yang masuk ke darah kita buktikan dulu dia membunuh virus apa tidak, kalau [obat itu diletakkan] di kalung apa efeknya?” kata Nafrialdi.

Nafrialdi meminta agar para peneliti “mengerti” metode ilmiah untuk meneliti sebuah obat sebelum membuat klaim yang tidak berdasarkan hasil riset yang baik dan benar.

“Peneliti itu harus mengerti metode ilmiah penelitian, mulai dari tahapan [penelitian] di laboratorium, lalu uji di hewan juga kalau bisa, kalau tidak bisa di manusia.”

“Kalau obatnya kira-kira aman, dicoba dalam jumlah terbatas, kemudian jumlah pasien diperbanyak, kemudian dibandingkan dengan [obat] pembandingnya, dalam kondisi yang sama, jangan dibandingkan dengan penelitian lain yang situasinya beda. Jangan asal klaim,” ujarnya. (BBC Indonesia)

Komentar