Dahulunya Lahan Milik Teuku Nyak Markam, Ulah Mafia Tanah!, Rp244 Miliar Milik Pertamina pun Raib

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Pengacara Harry Ardian bersama rekannya, Bagus Haryo Hariarto, terlihat sibuk di Polda Metro Jaya.

Beberapa pejabat polda, seperti Kapolda Metro Jaya Irjen M Fadil Imran, Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Tubagus Ade Hidayat, serta Kabubdit Harda AKB Dwi Asih ditemui oleh kedua pengacara PT Pertamina (persero) itu.

“Kami minta pihak penyidik dapat mengembangkan kasus yang kami tangani hingga ke dalangnya. Bahkan bila ada oknum Pertamina yang bersekongkol dan terlibat, kami persilakan untuk ditindak. Ini bentuk komitmen dari pimpinan Pertamina. Kami lihat Polda Metro Jaya sedang giat-giatnya memberantas mafia tanah,” kata Harry saat ditemui di sela kesibukannya, Kamis (4/3/2021),

“Akibat ulah mafia tanah, uang Rp244 miliar milik Pertamina raib,” lanjutnya.Harry menceritakan kasus ini berawal dari lahan 16.000 m2 yang dikelola Pertamina sejak 1973 di antara Jl Jati Rawamangun dan Jl Jati Barang Raya, Kawasan Jl Pemuda, RT 12/04, Kelurahan Jatirawamangun, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur.

Di atas lahan itu kini berdiri Maritime Training Center Pertamina (MTCP), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) Pertamina, dan Perumahan Pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Yang digugat itu lahan SPBG dan Perumahan Bapenas. Luasnya 12.230 m2,” ucap Harry.

Harry bercerita bahwa lahan itu dahulunya milik Teuku Nyak Markam. Ia ialah pengusaha kaya raya pada era Presiden Soekarno. Saking kayanya, ia menyumbang emas yang sampai saat ini masih bertengger di puncak Monas. Namun, pada masa awal Orde Baru, harta Teuku Markam disita oleh negara.

“Pada 1973, PT Pertamina diberi hak kelola oleh Yayasan Jayakarta untuk lahan di Jl Pemuda,” ujarnya.

Keluarga Markam, lanjut Harry, pernah menggugat aset itu sekitar 1987. Keluarga Tjut Aminah Markam (istri) memenangi gugatan PK dengan nomor perkara 113/Pdt.G/1987/PN.Jkt.Tim.

Keputusan PK itu keluar pada 12 April 2005. Adapun lahan yang digugat hanya SPBG seluas 3.150 meter persegi.

“Kami harus bayar Rp23 miliar. Tapi karena ada ke tidak sepahaman antara internal pihak-pihak penggugat dan kejelasan dokumen, Pertamina menangguhkan pembayaran,” terang Harry.

Namun, pada 2014 ada lagi gugatan baru untuk lahan SPBG dan Perumahan Bappenas. Kali ini yang menggugat 6 ahli waris dari RS Hadi Sopandi.

“Ini yang kami duga merupakan rekayasa dari mafia tanah.”
Pertamina, berdasarkan putusan PK dengan nomor perkara 127/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Tim tertanggal 14 November 2019 kembali kalah dalam persidangan.

Lalu, pada 2 Juni 2020, petugas PN Jakarta Pusat mendatangi kantor BRI cabang Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Mereka mengeksekusi dan memblokir rekening milik Pertamina.

“Ada Rp244,6 miliar dana milik Pertamina pada 5 Juni 2020 didebit ke rekening PN Jakarta Pusat di BTN,” ujarnya.

Penelusuran

Bagus Haryo menambahkan, ia lalu memeriksa dan menelusuri barang bukti yang diajukan para penggugat yang menyebabkan Pertamina kalah di pengadilan.

“Kami menduga kuat seluruh dokumen yang diajukan itu palsu. Gugatannya pun merupakan rekayasa dari mafia tanah.”

Kepada rekan media, Bagus pun memperlihatkan hasil dari penelusurannya itu.

“Penggugat menggunakan tiga dokumen yang diklaim sebagai bukti kepemilikan, yaitu Verponding Indonesia no C.22 dan C.178 serta Girik C no 28. Kami menduga kuat ketiganya itu palsu,” kata dia.

Harry mengatakan dokumen Verponding Indonesia itu diduga palsu karena tidak tercantum luas tanahnya.

“Lalu, ditulis menggunakan mesin tik. Kelazimannya dokumen pada kurun waktu 1960-1964 ditulis tangan. Kode penomorannya juga salah,” kata dia.

Selain itu, ia juga menunjukkan surat dari BPN Jakarta Timur yang menyebut ketiga dokumen itu tidak terdaftar. Begitu juga keterangan mantan Lurah Jati Nugroho M Bawono yang menyebut di area sengketa itu hanya ada satu surat kepemilikan berupa Girik Induk C361 Persil 9 S Ill atas nama Ny Tjut Aminah Markam.

“Lalu, ada juga keanehan di dalam surat kuasa. Salah satu penggugat bernama Ai Solihah sudah wafat pada 5 Agustus 2013, tapi ada tanda tangannya tercantum di dalam surat kuasa pada 2014,” katanya.

Hasil penelusuran ini lalu dibuat menjadi dasar laporan ke Polda Metro Jaya pada 2 Oktober 2020 dengan tuduhan telah terjadi tindak pidana pembuatan surat palsu atau memberi keterangan palsu ke dalam akta autentik.

“Laporan kami masih tahap lidik. Kami diminta untuk bisa menghadirkan Direksi Pertamina untuk melengkapi keterangan sebagai saksi pihak pelapor.”

Harry semakin khawatir para mafia tanah itu kian di atas angin setelah ia mengetahui ternyata keluarga Tjut Aminah Markam pernah pula membuat laporan juga di Polda Metro Jaya, tetapi rontok di tengah jalan. Keluarga yang diwakili pengacara bernama Endit Kuncahyono pernah melaporkan kasus ini pada 4 Februari 2014.

Saat itu mereka melaporkan ahli waris RH Hadi Sopandi dengan tuduhan telah memalsukan surat.

“Kasus itu sampai ada 5 surat perintah penyidikan. Tapi pada 20 Oktober penyidikannya dihentikan dengan alasan tidak ditemukan tindak pidana,” ujarnya.

Maka dari itu, Harry berharap setelah Kapolri dan Kapolda Metro Jaya memerintahkan jajarannya memberantas mafi a tanah, kasus ini bisa ditangani lebih serius.

“Pada kasus ini korbannya PT Pertamina, yang juga bagian dari negara,” tutupnya.

Sementara itu, kuasa hukum ahli waris RH Hadi Sopandi, Malkan Frans Bouw, saat dimintai konfirmasi menyarankan untuk bertanya ke PN Jakarta Timur.

“Saya hanya menjadi pengacara saat gugatan dan proses sidang berlangsung,” ujarnya.

(*/red/dilansirMediaIndonesia)

Komentar