Dua Pemimpin RI Tumbang Karena Krisis Pangan, Guru Besar IPB Sebut : Ketika Masyrakat Lapar Segala Hal Bisa Dilakukan

JurnalPatroliNews-Jakarta – Persoalan pangan erat kaitannya dengan stabilitas politik dari suatu negara. Begitulah disampaikan guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso menanggapi perosalan pangan di Indonesia, dalam diskusi daring yang bertajuk “Covid19: Krisis Beras di Depan Mata”, Selasa (23/6).

“Betapa pentingnya sektor pangan ini dengan terkait stabilitas politik, kerusuhan sosial dan lain sebagainya,” ujar Dwi Andreas.

Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) ini membeberkan persoalan krisis pangan yang pernah terjadi saat rezim Presiden pertama RI Soekarno dan Presiden kedua RI Soeharto.

Di era Soekarno, tepatnya setahun setelah Indonesia merdeka, Dwi Andreas menjelaskan bahwa pemerintah saat itu sempat membantu negara India untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Di mana saat itu RI mengekspor setengah juta ton beras ke India.

Kemudian sekitar tahun 1950-an, lanjut Dwi Andreas, pemerintah mulai meningkatkan produksi pertanian hingga sampai ke target swasembada pangan. Tapi di akhir tahun 1950-an harga beras meroket, karena produksi beras menurun.

Disinilah krisis pangan mulai mengahantui stabilitas politik saat itu. Dwi Andreas menyatakan, awal mula krisis pangan ini disebabkan produksi beras menurun, hingga akhirnya negara bergantung kepada impor.

“Dan kita jadi negara di akhir tahun 50-an atau menjelang 60-an, kita menjadi negara impor terbesar di dunia pada saat itu, dengan nilai impor 800 ribu ton sampai 1 juta ton per tahun. Dan ini relatif ironis, karena ketika setelah setahun merdeka kita ekspor,” bebernya.

Setelah itu, food crysis terjadi di Indonesia sampai tahun 1964. Bahkan krisis pangan ini memicu terjadinya social unrest di banyak tempat di Indonesia.

“Lalu apakah ini sebenarnya kejadian yang memicu kejadian tahun 65? Kalau kesimpulan kami sih, karena food crysis sebelum tahun 65 ini menduduki posisi penting. Karena apa? Ketika masyrakat lapar segala hal bisa dilakukan,” ucap Dwi Andreas.

Hal serupa, disebutkan Dwi Andreas, terjadi pula saat rezim Soeharto berkuasa. Hal itu bisa dilihat ditahun 1997, di saat Indonesia mulai bergantung kepada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

“Ini kalau kita lihat antara impor dan produksi, tahun 97 Indonesia mengalami kekeringan yang besar, lalu produksi turun relatif tajam, dan kemudian kita melakukan impor beras sepanjang sejarah pada tahun 98 sebesar 6,4 juta ton. Dan memicu krisis besar juga,” terangnya.

Melalui sejarah dua kepemimpin itu, Dwi Andreas berkesimpulan bahwa krisis pangan yang disebabkan produksi pangan menurun dan berakhir kepada ketergantungan impor, membuat suatu rezim tumbang.

“Kalau kita kait-kaitkan banyak krisis politik dunia disebabkan oleh pangan,” demikian Dwi Andreas. (/lk/*)

Komentar