Ekonom Senior, Mantan Presiden dan DPR Kompak Ingatkan Jokowi, Utang Luar Negeri Sudah Kebablasan Pak Presiden

Jurnalpatrolinews – Jakarta : Kata Rizal, tata kelola keuangan di pemerintahan SBY, lebih oke. Lantaran neraca keseimbangan primer selalu surplus. “Keseimbangan Primer Selalu Defisit Sejak @jokowi. Zaman SBY, neraca keseimbangan primer selalu surplus. Artinya, negara tidak perlu berutang untuk melunasi bunga utang,” tegas Rizal Ramli melalui Twitter-nya.  

Bahkan, Rizal Ramli membeber, sejak pemerintahan Jokowi neraca keseimbangan primer selalu defisit dan meningkat 7 kali lipat.   Sebelumnya, SBY menyatakan prihatin dengan utang luar negeri di era Jokowi yang terus menumpuk. Bahkan, SBY menyebut, utang Indonesia sudah tidak aman.

Bukan hanya meningkatnya rasio utang terhadap PDB, tetapi utang yang tercatat hingga November 2020 sebesar Rp5.910,64 triliun membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan membatasi ruang gerak ekonomi. “Tetapi yang berat adalah utang yang besar itu sangat membebani APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kita. Membatasi ruang gerak ekonomi kita,” tulis SBY dalam unggahan di Facebook.

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Marwan Cik Asan, menyoroti total utang Pemerintah Indonesia sampai dengan akhir tahun 2020 yang mencapai Rp5.910,1 triliun.

Terbagi, sebanyak 86,03% merupakan Surat Berharga Negara (SBN) dan sisanya 13,97% berupa pinjaman. Pinjaman didominasi dari luar negeri sebesar 99%, dan sisanya 1% pinjaman dalam negeri. “Dengan rasio utang telah mencapai 38,13 persen, jika utang pemerintah digabungkan dengan utang BUMN, total utang mencapai Rp11.773,83 triliun dengan rasio utang mencapai 74,4 persen,” kata Marwan, Selasa (12/1/2021).

Anggota Komisi XI DPR ini, mengakui, secara umum, posisi utang pemerintah masih dapat dikatakan aman. Alasannya, Undang-Undang (UU) Keuangan Negara mematok batas utang 60%. Namun, jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan UU. “Meskipun posisi utang pemerintah dikatakan aman, ada beberapa indikator yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan pengelolaan utang,” ujar Marwan.

Pertama, kata Marwan, defisit keseimbangan primer terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru. Pada APBN 2020, defisit keseimbangan primer mencapai Rp689,7 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2021 diperkirakan mencapai Rp633,1 triliun.

Faktanya, utang yang ditarik sebagian untuk pembayaran bunga utang. Padahal sejatinya, utang digunakan sebagai leverage untuk menopang pertumbuhan ekonomi. “Jika kondisi ini terus terjadi, keberlanjtukan fiskal pemerintah akan terhambat yang berujung pada kegagalan fiskal pemerintah. Pemerintah perlu segera melakukan perbaikan dan peningkatan penerimaan negara khususnya penerimaan pajak untuk mengimbangi kenaikan belanja negara,” terang Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR ini.

Kedua, Marwan melanjutkan, porsi beban bunga utang dalam APBN yang makin besar. Dalam APBN 2020, beban bunga utang telah mencapai Rp338,78 triliun atau telah bertambah Rp156 triliun dalam 5 tahun terakhir.

Kondisi ini tentu akan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan belanja produktif. Porsi beban bunga utang dan pembayaran cicilan pokok telah mencapai 16% dari total belanja negara, dan dipastikan angkanya akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah utang. “Selain jumlahnya yang makin besar, beban bunga utang dalam belanja pemerintah pusat telah melebihi belanja modal dan belanja barang yang dialokasikan untuk kegiatan produktif,” imbuhnya.

Ketiga, kata dia, biaya utang yang makin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72% atau lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang yang hanya 0,03%, China 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%.

Hal ini juga diperkuat oleh hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 yang menyatakan bahwa strategi pengembangan pasar surat berharga negara domestik belum efektif mendukung pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.  (bizlaw)

Komentar