Eks Pimpinan KPK Khawatir China Jadi Investor Terbesar di RI, Ini Tanggapan Kepala BKPM

JurnalPatroliNews – Jakarta, Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengaku khawatir jika China menjadi negara yang paling banyak berinvestasi di Indonesia.

Disampaikan Laode bahwa kekhawatirannya berdasarkan survei masalah US-Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) sepanjang 2011-2020, yang menempatkan China di posisi teratas negara dengan pembayaran yang tidak benar (improper payments).

“Kalau kita melihat US-Foreign Corrupt Practices Act, lokasi improper payment nomor satunya China, disusul Brazil, India, Meksiko, Rusia dan Indonesia,” kata Laode dalam webinar bisnis di Jakarta, Selasa (8/12) dikutip dari Antara.

US-FCPA merupakan Undang-Undang Praktik Korupsi Asing yang melarang perusahaan dan individu AS untuk membayar suap kepada pejabat asing untuk kesepakatan bisnis lebih lanjut.

Dilansir dari laman https://fcpa.stanford.edu/, survei tersebut dilakukan untuk melihat masalah dalam penerapan US-FCPA.

Survei menampilkan bagan ranking negara yang menggambarkan negara-negara tempat suap ditawarkan atau dibayarkan, berdasarkan dugaan yang dimulai dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan hasil survei tersebut, Laode mengaku khawatir jika investasi China datang membanjiri Indonesia.

“Saya sangat takut sedikit, bukan sedikit, tapi takut banyak, when Chinese become the biggest investor in Indonesia (kalau China menjadi investor terbesar di Indonesia),” katanya.

Menanggapi kekhawatiran Laode, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah Indonesia menegaskan bahwa tidak boleh ada satu negara yang mengontrol Indonesia dalam konteks investasi.

Indonesia, katanya, juga memberi perlakuan yang sama bagi semua negara mitra investasi, tidak terkecuali China.

“China ini negara yang ngeri-ngeri sedap juga, aku jujur saja. Tapi arah kebijakan kita ke depan, tidak boleh ada satu negara yang mengontrol Indonesia dalam konteks investasi. Kita harus memberikan kesamaan pada negara lain juga,” tegasnya.

Kendati demikian, Bahlil mengakui investor China memang termasuk yang paling berani dan nekad dalam hal investasi. Berbeda dengan negara lain seperti Jepang yang banyak pertimbangan dalam berinvestasi.

“Contoh, nikel. hampir semua sekarang smelter-nya dari China. Tapi memang dari sisi mereka, ini yang paling berani. Kalau Jepang itu terlalu banyak penelitiannya. Negara lain juga begitu. Debatnya minta ampun. Memang yang agak nekad seperti kita orang timur ini, ya investor dari China. Mereka kerja dulu baru mikir,” jelasnya.

Bahlil juga mengakui tidak semua investor China baik dan taat aturan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya agar bisa mengikat investor China dengan perjanjian berusaha yang jelas agar tidak menimbulkan kerugian bagi masing-masing pihak.

“Sekarang tugas kita adalah bagaimana saat mereka investasi, kita harus ikat mereka dalam perjanjian yang clear and clean agar kemudian tidak menimbulkan hal-hal yang tidak berorientasi pada kerugian,” katanya.

Meski demikian, mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu mengakui memang dibutuhkan investor yang berani dalam sejumlah sektor berisiko, khususnya pertambangan.

“Nah, secara kebetulan, yang beraninya lebih ini ya investor dari China. Tapi, jangan juga kita ikuti keberanian ini tanpa mensiasti dengan aturan yang baik. Ini sekarang tugas kita yang harus kita lakukan,” katanya.

Berdasarkan data BKPM, penanaman modal asing di Indonesia pada triwulan pertama 2020 didominasi oleh Singapura senilai US$2,7 miliar, China US$1,3 miliar, Hongkong US$0,6 miliar, Jepang US$0,6 miliar, dan Malaysia US$0,5 miliar.

(*/lk)

Komentar