Fraksi Golkar Respons Putusan MK Soal Pemilu Terpisah, Pertanyakan Dua Hal Prinsip

JurnalPatroliNews – Jakarta – Fraksi Partai Golkar di DPR RI merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal Pemilu nasional dan Pemilu daerah yang mulai berlaku pada 2029. Keputusan ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa Pemilu Presiden, DPR, dan DPD akan dilaksanakan terpisah dari pemilihan DPRD dan Pilkada.

Ketua Fraksi Golkar, Muhammad Sarmuji, mengajukan dua pertanyaan mendasar sebelum menyampaikan sikap fraksinya secara eksplisit.

“Pertama, apakah kita masih berpegang bahwa putusan MK bersifat final dan wajib dilaksanakan? Kedua, apakah kita masih mengakui MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi dan menentukan konstitusionalitas suatu norma?” ujarnya kepada wartawan pada Selasa, 1 Juli 2025.

Sarmuji tidak secara langsung menyatakan apakah Partai Golkar akan mendukung atau menolak keputusan MK. Namun ia menegaskan bahwa jika kedua prinsip tersebut masih diakui, maka secara logis tak ada pilihan lain selain menerima putusan MK.

“Jika kita tetap mengakui dua prinsip dasar itu, maka sulit untuk tidak mengikuti hasil putusan,” lanjut politisi yang juga menjabat Sekjen DPP Partai Golkar tersebut.

Sikap Golkar ini berbeda dari Partai NasDem yang sebelumnya menyatakan penolakan terbuka terhadap putusan MK. Perwakilan Majelis Tinggi NasDem, Lestari Moerdijat, menyatakan bahwa putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah melanggar amanat konstitusi.

Ia menyoroti bahwa jeda 2,5 tahun antara pelaksanaan Pemilu nasional dan Pilkada serta pemilihan DPRD bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang mengamanatkan penyelenggaraan Pemilu setiap lima tahun sekali.

“Pemilu kepala daerah dan DPRD jelas termasuk dalam rezim Pemilu sebagaimana disebutkan dalam konstitusi dan ditegaskan kembali oleh Putusan MK Nomor 95/PUU-XX/2022,” ujar Lestari dalam pernyataannya di NasDem Tower pada 30 Juni 2025.

Ia menilai bahwa MK telah bertindak melampaui kewenangannya dengan mengubah substansi norma konstitusional, padahal tugas MK hanyalah menafsirkan, bukan membuat norma baru.

“MK sebagai penjaga konstitusi seharusnya tidak membuat putusan yang berpotensi mencederai prinsip Pemilu lima tahunan. Putusan ini berisiko menjadi preseden buruk bagi demokrasi konstitusional kita,” tutup Lestari.

Komentar