Gara-gara Posting Jalan Rusak, Ehh! Aparat Desa Marahi Guru, Apa Kata Analis Kebijakan Publik?

JurnalPatraloiNews – Jakarta,– Beredar video aparat desa marah-marah ke seorang guru SMP di Sukabumi, Jawa Barat. Diketahui kemudian penyebab guru SMP itu jadi sasaran kemarahan aparat desa karena telah mengunggah foto kondisi jalan rusak menuju tempatnya bertugas yang tak kunjung dibenahi.

Akhirnya video itu jadi perdebatan publik. Siapa yang salah? Bagaimana aturannya?

1. Aparat Desa Bisa Dipidana
Menurut Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, pejabat publik yang memarah-marahi warga seperti itu bisa dilaporkan bahkan sampai dipenjara. Guru SMPN 1 Cijalingan tadi bisa melaporkan para aparat desa yang memarahi itu dengan aduan Perbuatan Tidak Menyenangkan.

“Kalau (pejabat publik) mau menegur harus dengan cara yang santun tidak boleh marah-marah, kalau marah-marah seperti itu dia bisa dilaporkan dengan aduan perbuatan tidak menyenangkan,” ujar Trubus kepada rekan media, Jumat (12/3/2021).

“(Jika terbukti) itu bisa dipidana, dipenjara, tergantung,” sambungnya.

Aturan perlakuan tidak menyenangkan itu tertuang dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun frasa ‘pencemaran nama baik’ telah dihapus dalam aturan tersebut, akan tetapi, kata Trubus, masyarakat masih bisa membuat aduan.

Apalagi bila ada bukti yang jelas yang menunjukkan perbuatan tidak menyenangkan bahkan sampai ada ancaman atau kekerasan.

“Ya masih bisa, pasal pencemaran nama baik dan penghinaan,” imbuhnya.

Pasal yang dimaksud Trubus adalah Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Selanjutnya ayat (2) Pasal 310 ayat itu ditambahkan:

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Di samping itu, pejabat publik siapapun itu, sambung Trubus wajib menjunjung tinggi prinsip kesantunan publik. Menurut Trubus, ada aturan yang sudah mengatur terkait etika pejabat publik tersebut

“(Pejabat Publik) Nggak boleh (marah-marah), itu melanggar etika penyelenggara negara, jadi pejabat publik itu harus menjunjung tinggi kesantunan publik,” katanya.

Sedangkan, menurut Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Lisman Manurung, guru yang dimarahi aparat desa tadi tidak perlu melapor ke aparat hukum. Sebab, tanpa dilapor pun, aparat desa tersebut cepat atau lambat akan ditindak.

“Tidak perlu. Tak berapa lama setelah viral, saya duga yang bersangkutan sudah dipanggil pihak terkait, kejaksanaan juga akan periksa dan seterusnya,” kata Lisman.

2. Pemerintah Bisa Kena Sanksi
Trubus menyebut ada aturan yang mewajibkan pejabat publik untuk segera memperbaiki jalanan yang rusak agar tidak merugikan masyarakat.

“Iya ada aturannya itu, memang begitu,” kata Trubus.

Adapun aturan yang dimaksud adalah UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 24 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa penyelenggara wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Kalau belum dilakukan perbaikan jalan namun berniat untuk diperbaiki, maka penyelenggara jalan tetap wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Bila tak segera diperbaiki atau memberi tanda yang dimaksud, pemerintah atau penyelenggara jalan bisa kena sanksi hukum pidana kurungan atau denda.

“Setiap penyelenggara jalan tidak segera memperbaiki jalan rusak tersebut dan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp 12 juta,” bunyi pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009.

Kemudian kalau sampai mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Jika korban meninggal dunia, dapat dipidana penjara hingga 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta.

Bila dibiarkan dalam waktu lama tak kunjung diperbaiki juga, masyarakat bisa melapor ke pihak terkait bahkan ke media massa.

“Bisa itu ada undang-undang pelayanan publik, jadi kalau ada jalan rusak atau apa, itu kan masuk layanan publik, bisa dilaporkan,” tambahnya.

Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Dalam pasal 42 ayat (1) UU dijelaskan masyarakat wajib diikutsertakan dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik termasuk soal pengawasan dan bisa memberi masukan, tanggapan, laporan, dan/atau pengaduan kepada Penyelenggara dan atasan langsung Penyelenggara serta Pihak Terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melalui media massa.

Hal serupa juga disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Lisman Manurung.

“Jalan rusak ya harus segera diperbaiki,” tegas Lisman.

3. Jangan Asal Posting
Menurut Lisman, yang dilakukan Eko tersebut tidaklah salah. Siapapun bebas menyampaikan pendapatnya di platform apapun

“Era good governance ini mempunyai komponen akuntabilitas. Akuntabilitas itu ialah kesediaan kita untuk diukur oleh siapa saja. Pembantu pun boleh kita dengar opininya,” ujar Lisman kepada rekan media, Jumat (12/3/2021).

Namun, menurut Trubus ada baiknya masyarakat menghindari posting di media sosial. Khawatir, ada saja nanti pihak yang menjadikan hal itu sebagai bukti Pencemaran Nama Baik dan aduan sejenis lainnya.

“Kalau upload di media sosial bisa salah, karena itu bisa menimbulkan penghinaan, pencemaran nama baik, begitu, kan di UU ITE itu di pasal 27 seperti itu, kalau kontennya itu mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik bisa kena pidana,” kata Trubus.

Jadi sebaiknya masyarakat, kata Trubus menghindari mengunggah aduan-aduan serupa di medsos. Masyarakat diminta melapor langsung saja ke pejabat daerah setempat seperti RT, RW, lurah atau ke kepolisian setempat. Bila ingin lebih didengar, bisa melapor ke lembaga bantuan hukum.

“Kalau tidak bisa juga ya buat gugatan warga, itu pakai LSM atau LBH, nanti LBH melaporkan,” tambahnya.

(*/lk)

Komentar