In Memoriam: Salim Said dan Empat Generasi Film Indonesia

Kami lalu bicara ngolor ngidul soal film. Di antara percakapan itu, Salim Said memprediksi film Indonesia akan menang Oscar.

Salim mulai dengan empat generasi film Indonesia. Pertama, era sebelum merdeka sampai hadirnya Usmar Ismail tahun 1950. Ini generasi pedagang. Mereka melihat film sebagai barang dagangan saja, mulai dari film bisu sampai teknologi film bicara.

Lalu datang Usmar Ismail. Ia the game changer. Filmnya mulai dari Darah dan Doa, Lewat Jam Malam, dan Tiga Dara, mulai memasukkan gagasan ke dalam film.

Pentingnya sosok Usmar Ismail, terlihat dari respon pemerintah Indonesia. Hari pertama Usmar merekam film pertamanya dijadikan hari film nasional.

Usmar Ismail dilanjutkan Syuman Jaya hingga Teguh Karya. Film bermutu di Indonesia mulai bermunculan.

“Pada Generasi ketiga,” ujar Salim Said, datang Garin Nugroho dan kawan-kawannya yang sekolah film, seperti di IKJ. Generasi ini memang lebih mengerti film secara akademis. Mereka juga punya kesadaran ikut aneka festival film internasional.

Mereka mulai membuat film bergaya seni. Tak semua film generasi ini diputar komersial di bioskop Indonesia. Sebagian memang dibuat untuk ikut festival film international. Banyak juga yang mendapatkan dana internasional.

Ujar Salim Said, “Saya kira baru generasi keempat nanti, film Indonesia diperhitungkan dalam festival sekelas Oscar. Dugaan saya, itu 10-20 tahun mendatang. Saya tak akan mengalaminya.”

Cukup hangat percakapan kami. Saya juga menceritakan perkembangan artificial intelligence. Betapa sekarang, AI dapat digunakan untuk menyeleksi naskah film untuk tahu apakah ini film akan laku, dilihat dari topik, plot cerita, karakterisasi tokoh, dan dialognya.

Saya sempat cerita, beberapa puisi esai saya difilmkan oleh Hanung Bramantyo, untuk topik diskriminasi. Tapi ini film pendek durasi 40 menit saja. Ini bukan film bioskop.

Satu lagi puisi esai saya sedang difilmkan bekerja sama dengan PFN. Itu mengenai aksi kamisan para keluarga yang kehilangan anak dan orang tersayang, karena isu politik.

Tapi kisah politik puisi esai itu diganti. Bukan melawan pemerintah atau istana, tapi melawan perusahaan multi nasional. PFN mustahil membuat film yang protes pada pemerintah.

Salim Said tertawa. Ia meminta saya mengajaknya mereview ketika film itu selesai.

Saya mendengar film itu hampir selesai. Tapi Salim Said tak lagi di sini. Ia tak lagi bisa diajak mereviewnya.

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.

Komentar