Innalillahi… Pernyataan Ngeri ICW: Pemberantasan Korupsi Sudah Menemui Ajalnya

JurnalPatroliNews, Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pemberantasan korupsi telah menemui ajalnya. Pernyataan ini menanggapi dipecatnya 51 Pegawai KPK yang tidak lolos dalam asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).

ICW pun membeberkan sejumlah kesimpulan terkait dengan pemecatan tersebut. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah melanggar ketentuan perundang-undangan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa sejak awal sudah ditegaskan bahwa penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal.

“Sebab, TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK,” kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (26/5).

Kedua, lanjut Kurnia, keputusan untuk mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang benderang menghiraukan putusan Mahkamah Konstitusi. Diketahui, dalam putusannya, MK sudah mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak pegawai.

Ketiga, substansi pertanyaan dalam TWK yang diinisiasi oleh Pimpinan KPK bersama lembaga lain bertentangan dengan hak asasi manusia. Merujuk pada beberapa pemberitaan yang beredar luas di tengah masyarakat, pertanyaan-pertanyaan TWK menyentuh ranah privasi warga negara.

“Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi, pandangan politik, dan Agama turut dijadikan dasar penilaian. Bahkan, proses wawancara juga dilakukan secara tidak profesional. Hal itu dapat merujuk kepada fakta bahwa panitia penyelenggara tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan proses tanya jawab dengan pegawai KPK berlangsung,” ucap Kurnia.

Keempat, kebijakan Pimpinan KPK untuk memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1/2021 telah melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang saling bertentangan.

Kelima, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi ‘Indonesia Memanggil’ dan sejumlah pelatihan yang didapatkan pasca terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu. Dalam penjelasan ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program induksi selama 48 hari yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara.

“Jadi, TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji untuk menilai wawasan kebangsaan pegawai KPK,” ungkap Kurnia.

Keenam, lanjut Kurnia, pernyataaan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Kurnia mengatakan, beberapa waktu lalu Presiden telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK.

Namun, ucap Kurnia, dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu semata. Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

“Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden,” ucapnya.

Ketujuh, putusan untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK. Kurnia mengatakan sejak polemik TWK ini menguak ke tengah publik, terdapat sejumlah elemen dan organisasi yang mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK.

“Mulai dari masyarakat sipil, organisasi keagamaan, mantan Pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan sikap penolakan penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan berdasar hukum. Untuk menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK juga mendatangi beberapa lembaga negara, diantaranya: Ombudsman dalam konteks perbuatan maladminstrasi dan Komnas HAM,” ujarnya.

Kedelapan, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Kurnia menyebut indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer) memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang mengkritisi TWK.

“Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan taliban dan radikalisme di KPK,” katanya.

Atas permasalahan ini, ICW pun mendesak Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan.

ICW juga mendesak Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK.

Terakhir, ICW mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

Diketahui, hasil koordinasi KPK, BKN, Kemenpan RB, Kemenkumham, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyatakan bahwa 51 dari 75 pegawai itu dinyatakan tidak lulus semenetara 24 sisanya dapat dibina lebih lanjut sebelum diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada Selasa (25/5), Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan bahwa 24 pegawai sisanya akan mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan.

Dia mengungkapkan, mereka juga diwajibkan menandatangani kesediaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan sebelum mengikuti pendidikan. “Dan pada saat selesai pendidikan dan pelatihan wawasan kebangsaan dan bela negara. Kalau kemudian yang bersangkutan itu tidak lolos yang bersangkutan juga tidak bisa diangkat jadi ASN,” katanya.

(wre)

Komentar