Irjen Napoleon Pasang Tarif Rp7 M, Hapus Red Notice Djoko Tjandra

Jurnalpatrolinews – Jakarta : Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap sebesar SGD 200 ribu dan USD 270 ribu atau setara Rp 6,1 miliar dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.

Irjen Napoleon mematok harga Rp 7 miliar untuk menghapus nama Djoko Tjandra dalam red notice Interpol Polri.

Penghapusan red notice dilakukan agar Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia untuk bisa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Saat itu, Djoko Tjandra sedang kabur ke luar negeri menghindari hukuman dua tahun penjara terkait kasus hak tagih Bank Bali.

Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Djoko Tjandra meminta rekannya yang merupakan seorang pengusaha, Tommy Sumardi untuk mencari tahu statusnya di NCB Interpol Indonesia yang berada di bawah pimpinan Irjen Napoleon Bonaparte. Sebab, dia mendapat informasi bahwa red notice terhadap dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Prancis.

Djoko Tjandra pun siap mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk bisa pulang ke Indonesia. Penyiapan uang miliaran rupiah dilakukan untuk memuluskan rencana Djoko Tjandra.

“Bersedia memberikan uang sebesar Rp 10 miliar melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia, terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri,” kata Jaksa Wartono membacakan surat dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Senin (2/11).

Lantas Tommy Sumardi, meminta bantuan Brigjen Prasetijo Utomo yang saat itu masih menjabat Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik PNS Bareskrim Polri. Brigjen Prasetijo kemudian mengantar dan mengenalkan Tommy Sumardi ke Irjen Napoleon Bonaparte.

Pada 16 April 2020, Tommy Sumardi menemui Irjen Napoleon Bonaparte di ruang kerjanya di lantai 11 Gedung TNCC Mabes Polri. Tommy Sumardi menanyakan status red notice Djoko Tjandra.

Menurut Jaksa, esok harinya Irjen Napoleon Bonaparte menyampaikan kepada Tommy Sumardi soal pengecekan red notice Djoko Tjandra. Jenderal polisi bintang dua itu menyanggupi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dalam red notice, namun yang bersangkutan harus menyiapkan uang sebesar Rp 3 miliar.

Saat itu, Irjen Napoleon Bonaparte menyampaikan, “Red notice Djoko Soegiarto Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya” ujar Jaksa menirukan ucapan Napoleon.

Tommy Sumardi lantas menanyakan nominal uang yang diminta. Lalu dijawab Irjen Napoleon Bonaparte, “3 lah, Ji (3 miliar),” cetus Jaksa.

Pada 27 April 2020, Djoko Tjandra meminta sekretarisnya, Nurmawan Fransisca, mengirim USD 100 ribu melalui Nurdin kepada Tommy Sumardi. Uang itu kemudian dibawa Tommy Sumardi untuk diserahkan ke Irjen Napoleon Bonaparte yang ditemani oleh Brigjen Prasetijo.

Dalam perjalanan, Brigjen Prasetijo melihat uang itu dan meminta separuh untuk dirinya. Setibanya di ruangan Irjen Napoleon Bonaparte, uang tersisa USD 50 ribu untuk diserahkan. Namun, Irjen Napoleon menolaknya karena nominalnya tidak sesuai.

Lantas Irjen Napoleon Bonaparte menaikkan permintaannya dari awalnya Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar. Permintaan uang itu dinaikkan oleh Irjen Napoleon.

“Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan, ‘Ini apaan nih segini, nggak mau saya. Naik Ji jadi 7, soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau’ dan berkata ‘petinggi kita ini’,” pungkas Jaksa.

Irjen Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (fajar/fin)

Komentar