HeadlineKorupsi

KPK Bakal Temui MA Bahas Fenomena “Sunatan Massal” Koruptor Lewat PK

Beno
×

KPK Bakal Temui MA Bahas Fenomena “Sunatan Massal” Koruptor Lewat PK

Sebarkan artikel ini

JurnalPatroliNews – Jakarta, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana untuk bertemu Mahkamah Agung (MA). Pertemuan itu untuk membahas adanya fenomena atau tren pengurangan masa hukuman terpidana perkara korupsi melalui putusan PK atau yang dikenal dengan istilah “sunatan massal”.

Sejak 2019 hingga saat ini terdapat 23 terpidana korupsi yang mendapat pengurangan masa hukuman melalui putusan PK MA. Sementara saat ini terdapat lebih dari 35 bahkan mencapai 50 terpidana perkara korupsi yang ditangani KPK yang sedang mengajukan PK dan belum diputus MA.

JPN - advertising column


Example 300x600
JPN - advertising column

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menegaskan, KPK sebagai lembaga penegak hukum menghormati indenpendensi hakim dalam memutus perkara. Namun, Ghufron menyatakan, pihaknya tak dapat mengabaikan adanya fenomena atau tren pengurangan hukuman melalui putusan PK.

“KPK menghormati independesi itu tetapi kami kemudian berencana, pimpinan KPK akan menghadap kepada MA untuk membicarakan ini,” kata Ghufron di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Ghufron mengatakan, PK merupakan hak yang diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya untuk mencari keadilan. Untuk itu, pertemuan dengan MA bertujuan menjaga muruah PK agar tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu.

“Sekali lagi supaya muruah lembaga PK atas putusan yang sudah inkracht yang harapannya untuk menjunjung tinggi keadilan baik bagi tersangka maupun bagi masyarakat luas itu tidak disalahgunakan untuk kepentingan mencari pemotongan putusan, apalagi kemudian trennya sudah semakin tampak,” kata Ghufron.

Ghufron mengatakan, dari 23 putusan PK yang mengurangi hukuman terpidana korupsi, 12 di antaranya merupakan putusan yang sudah inkracht di pengadilan tingkat pertama. Dikatakan, sistem hukum di Indonesia menganut sistem kontinental. Dengan demikian, kasus per kasus yang diadili di persidangan memiliki karakteristik sendiri-sendiri dan tidak terkait dengan kasus lainnya.

Namun, kata Ghufron, saat ini KPK mengamati adanya tren 22 putusan PK MA yang mengurangi hukuman terpidana korupsi. Untuk itu, KPK menduga adanya modus para terpidana untuk mendapat pengurangan hukuman melalui PK.

Sebagian koruptor itu mulanya menerima putusan pengadilan dengan tidak mengajukan banding atau kasasi hingga berkekuatan hukum tetap. Namun, setelah menjalani hukuman langsung mengajukan PK.

“Kami kemudian mencermati bahwa ini seakan-akan menjadi strategi baru bagi para koruptor itu untuk kemudian menerima dan kemudian tidak berproses upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi tetapi menunggu sampai inkracht dilalui dulu beberapa bulan kemudian mengajukan PK,” ungkapnya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji mengatakan lembaga peradilan bukanlah “ladang pembantaian” bagi terpidana karena konsep Rehabilitation and Treatment of Offenders lebih diorientasikan bagi sistem pemidanaan yang moderat dengan prinsip penegakan keadilan. Untuk itu, Indriyanto menilai wajar jika MA menilai pola efek jera bukan jalan akhir bagi efektifitas pemidanaan.

“Selain itu PK ini upaya hukum luar biasa yang final dan memang regulasi dan doktrin memberikan hak ini kepada terpidana sebagai akibat dugaan abuse dari negara terhadap masyarakat,” katanya.

Indriyanto menyatakan, independensi dan kebebasan hakim yudisial dalam memutus perkara tidak dapat ditawar dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun dalam menjalanan tugas teknis yudisial, termasuk dalam perkara-perkara PK ini. Namun, Indriyanto menilai wajar jika muncul pro dan kontra adanya tren sunatan massal terpidana korupsi.

“Pro-kontra sunatan massal pemidanaan sesuatu wajar dan sewajarnya pula kita menghormati putusan MA meski sekecil apapun putusannya menuai polemik,” katanya.

Di sisi lain, Indriyanto mengapresiasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tagun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Dikatakan, Perma tersebut dapat menjadi acuan hakim untuk mencegah terjadinya disparitas pemidanaan. Terutama mencegah terjadinya sunatan massal pemidanaan dalam kasus korupsi, walaupun semua berpulang pada independensi yudisial yang tidak dapat diintervensi.

“Memang itu panduan saja dan untuk menghindari adanya disparitas pemidanaan, sekaligus membuat arahan uniformitas pemidanaan dalam kaitan penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” katanya.

(bs)