Lebih dari 25 Tahun Ditelantarkan, Markaz Syariah Jelaskan Ini Soal Aturan Beli Tanah HGU PTPN dari Petani

JurnalPatroliNews, Jakarta – Kuasa Hukum Habib Rizieq, Ichwan Tuankotta mempertanyakan kesalahan dalam pembelian tanah hak guna usaha (HGU) Markaz Syariah.

Sebelumnya, pembelian tanah Markaz Syariah oleh Habib Rizieq Shihab ke petani ini dinilai salah oleh Kementerian ATR/BPN.

Dia menjelaskan, PTPN VIII awalnya menelantarkan tanah yang kini jadi tempat berdirinya Markaz Syariah lebih dari 25 tahun.

Kemudian, tanah yang ditelantarkan itu dibeli oleh Habib Rizieq dari petani.

Petani, kata dia, adalah pihak yang mengelola atau pihak penggarap tanah terlantar itu.

“Karena Habib Rizieq membeli lahan itu dari para petani, penggarap, yang pada saat itu memang tanah tersebut sudah ditelantarkan dan terbengkalai oleh pihak PTPN VIII, begitu.

Nah, karena tanah itu sudah ditelantarkan dan dikelola oleh pihak penggarap, dalam hal ini warga petani di sekitar situ, itu

sudah dari tahun 1991. Jadi sudah 25 tahun lebih tanah itu ditelantarkan,” kata Ichwan, Minggu (27/12/2020).

Dia menjelaskan, seseorang atau badan usaha bisa membeli tanah yang diterlantarkan. Hal itu mengacu Pasal 34 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

“Karena tanah itu ditelantarkan, konsekuensinya di dalam Undang-Undang Agraria tahun 60, itu ada kaitan tentang penelantaran, ya. Di sini disebutkan di Pasal 34 yang saya baca, kalau HGU itu ditelantarkan, otomatis menjadi hapus haknya, begitu,” lanjutnya.

Sebelumnya, tim advokasi Markaz Syariah menjawab somasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dengan mengatakan mereka membeli lahan Markaz Syariah dari para petani. Kementerian ATR/BPN kemudian merespons tim hukum Markaz Syariah.

“Tim hukum MRS (Muhammad Rizieq Shihab) mengatakan telah membeli tanah itu pada petani, dan jika itu yang disebut legal standing-nya, maka itulah yang salah,” kata juru bicara BPN, Teuku Taufiqulhadi saat dimintai konfirmasi.

Taufiqulhadi yakin petani yang menjual tanah yang kini berdiri Markaz Syariah tidak punya sertifikat tanah. Dia menegaskan petani tidak memiliki hak menjual tanah yang bukan miliknya.

“Petani ini tidak memiliki hak menjual tanah yang bukan miliknya. Petani itu pasti tidak memiliki sertifikat tanah yang menunjukkan hak miliknya,” terangnya Taufiqulhadi.

Untuk diketahui, Pasal 30 Ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 menyebut, yang dapat mempunyai HGU ialah (a) warga negara Indonesia dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Di Ayat 2 dijelaskan, orang atau badan hukum yang mempunyai HGU tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam Ayat 1 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepas atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak lain yang memperoleh HGU jika ia tidak memenuhi syarat tersebut.

“Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,” lanjut Pasal 30 Ayat 2.

Pasal 31 menyatakan, HGU terjadi karena penetapan pemerintah. Di Pasal 32 Ayat 1 disebutkan, HGU termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Di Pasal 32 Ayat 2 tertulis, pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Ada sejumlah hal yang membuat HGU dihapus sebagaimana diatur dalam Pasal 34. Berikut rinciannya:

a. jangka waktunya berakhir
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d. dicabut untuk kepentingan umum
e. diterlantarkan
f. tanahnya musnah
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.

(*/lk)

Komentar