Memang, Celah Korupsi Menganga Lebar di Bansos Sembako

JurnalPatroliNews – Jakarta, Menteri Sosial Juliari P Batubara menjadi tersangka KPK dalam kasus korupsi bansos corona. Ia diduga menerima suap sebesar Rp17 miliar dari penyaluran bansos berupa sembako atau dikenal bantuan pangan nontunai.

Menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara, celah korupsi bansos masih menganga lebar selama bantuan diberikan dalam bentuk nontunai.

“Masalahnya ada pada penunjukan pengadaan barang, termasuk harga barang. Jadi, disini bukan hanya masalah administrasi prosedural,” ungkapnya, kepada CNNIndonesia.com, Senin (7/12).

Karena itu, ia menilai butuh lebih dari sekadar pengawasan prosedural untuk mencegah praktik korupsi. Misalnya, konflik kepentingan antara menteri, pejabat pembuat komitmen, dan perusahaan atau vendor-vendor pengadaan barang.

“Kemudian, bisa dilihat keterkaitan background, seperti partainya, itu bisa juga. Jadi, bukan hanya administrasi prosedural, tapi juga sampai kepada pendalaman dan ada penyidikan,” jelas Bhima.

Celah korupsi juga terdapat pada penggelembungan (mark up) harga barang. Kesepakatan mark up harga ini bisa terjadi antara pihak kementerian dan pihak penyalur bansos, seperti halnya kasus korupsi yang menjerat Juliari.

“Saya melihat selama pengadaan bentuknya barang, di sini rentan sekali ada celah suap menyuap. Ada celah untuk harga sembako berapa, dipangkas berapa, di mark up berapa. Di situ selalu ada celah untuk korupsi,” imbuhnya.

Sepakat, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet bilang inti permasalahan dari korupsi yang menjerat Juliari adalah mark up harga. Oknum terkait menaikkan jumlah anggaran untuk sembako dari pihak ketiga yang juga terlibat dalam korupsi tersebut.

“Misalnya, anggaran untuk beras harganya Rp50 ribu. Dengan mark up, harganya dinaikkan menjadi Rp60 ribu atau Rp70 ribu. Anggaran yang lebihnya ini kemudian diambil oleh oknum,” ucapnya.

Jangan heran, meskipun penyaluran bansos sudah dikawal, seperti Kemensos, tetapi upaya korupsi tersebut tentu bisa dilakukan lewat kerja sama dengan oknum pihak ketiga.

Sepakat dengan Bhima, Rendy juga menilai selama bentuk bansos adalah pembelian barang, maka praktik mark up anggaran bisa dilakukan.

Bansos Tunai

Guna mencegah praktik korupsi bansos, keduanya sepakat jika bansos disalurkan dalam bentuk transfer uang (cash transfer). Skema cash transfer itu dinilai bisa menutup celah mark up anggaran.

“Sarannya, diubah saja semua bansos itu menjadi cash transfer, karena dengan transfer uang itu bisa terlacak di bank, siapa yang menerima, jadi lebih jelas dan langsung pada tepat sasaran orang penerima, ” tutur Bhima.

Namun, pemerintah harus memastikan validitas data penerima bansos sebelum melakukan cash transfer tersebut. Jika didapati aliran uang yang mencurigakan, lanjutnya, maka pemerintah bisa mudah melacaknya melalui pihak bank.

“Nanti kalau ada transaksi yang mencurigakan itu bisa lebih mudah, follow the money, bisa melihat di mana, kemudian bisa tracing semua di mana transaksi keuangannya,” katanya.

Yusuf sepakat. Ia menilai transfer lebih efektif mencegah mark up anggaran. Dalam hal ini, bukan hanya pemerintah yang mendapatkan kemudahan untuk mengawasi aliran dana bansos lewat transfer, tetapi penerima juga bisa memastikan dana yang mereka terima.

“Dengan bantuan ini, masyarakat juga bisa melakukan pengawasan langsung karena masyarakat tahu secara pasti berapa jumlah yang mereka harus terima,” terang dia.

Keduanya berpendapat bantuan dalam bentuk uang tunai juga lebih bermanfaat dan menimbulkan efek ganda pada ekonomi. Sebab, penerima bantuan bisa mengalokasikan dana tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

“Efek multiplier-nya juga bisa lebih besar, karena uang yang didapatkan dari transfer itu bisa dibelikan ke warung-warung tempat penerima bantuan berada,” tutur Yusuf.

(dtk)

Komentar