Menelisik Polemik Penangkapan Kapal Iran

JurnalPatroliNews – Polemik ditahannya 2 (dua) kapal tanker, MT Horse berbendera Iran dan MT Freya berbendera Panama di perairan Pontianak, beberapa waktu lalu terus menjadi bahan perdebatan hukum dikalangan dunia maritim maupun bisnis perkapalan Indonesia. Penangkapan oleh Bakamla tanpa memperhatikan kewenangannya dan hukum yang berlaku semakin membuat perairan Indonesia masuk kedalam katagori high risk yang mengakibatkan asuransi barang yang diangkut oleh kapal melewati wilayah laut Indonesia menjadi tinggi. Akibatnya harga barang juga menjadi mahal.

Kapal MT Horse dan MT Freya ditangkap dengan tiga alasan yaitu, mematikan AIS (Automatic Identification System), Transfer minyak milik asing (bukan milik Indonesia) ship to ship di perairan teritorial Indonesia dan Pencemaran Lingkungan laut.

1. Kewenangan Bakamla menangkap kapal.

Kewenangan menyuruh berhenti, menangkap, menahan menggeleda menyita adalah kewenangan penyidik sebagaimana yang diatur pada huruf c, d dan e, ayat (1) pasal 7 UU 8/1981 ttg KUHAP yang selengkapnya berbunyi :

Pasal 7

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)   huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

  1. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 
  2. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
  3. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

Oleh karena Bakamla bukan organisasi penegak hukum dan anggota Bakamla bukan penyidik, maka Bakamla tidak berwenang menangkap kedua kapal itu.

Penangkapan dan penahanan adalah kewenangan penyidik juga diatur pada angka 20 dan 21 pasal 1 UU 8 /1981 ttg KUHAP.

Sedangkan Tertangkap tangan diatur pada angka 19 pasal 1 UU 8/1981 ttg KUHAP yang selengkapnya berbunyi :

  1. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat  kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
  1. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

 Lalu ada yang mengatakan kalau itu tertangkap tangan, boleh saja. Tertangkap tangan di darat menurut KUHAP adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Hal ini tidak mungkin terjadi di laut. Di laut selalu harus melalui proses pemberhentian  yang merupakan kewenangan penyidik.

Dengan demikian karena Bakamla bukan penyidik, maka Bakamla tidak mempunyai kewenangan menangkap kedua kapal itu. Penangkapan kedua kapal itu bertentangan dengan UU 8/1981 tentang KUHAP.

2. Hak lintas damai bagi kapal asing.

Pertama. Seluruh laut Indonesia diatur oleh Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan secara Internasional diatur oleh Unclos.

Menurut ayat 3 Pasal 11 UU 6/1996 tentang Perairan, Kapal asing DIPERBOLEHKAN UNTUK LEGO JANGKAR BAHKAN TRANSFER BAHAN BAKAR SHIP TO SHIP SESAMA KAPAL ASING BILA ITU DIPERLUKAN. Bisa saja transfer bahan bakar itu terpaksa harus dilaksanakan karena salah satu dari kapal itu memerlukan bahan bakar. Dan tidak ada satupun aturan yang melarang transfer bahan bakar kapal asing sesama kapal asing dan bahan bakar juga milik asing.

Selengkapnya ayat 3 pasal 11 UU 6/1996 berbunyi :

HAK LINTAS BAGI KAPAL-KAPAL ASING

Bagian Pertama
Hak Lintas Damai

 Pasal 11

Ayat (1)  Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.

 Jadi menurut ayat 1 pasal 11 UU 6/1996 tentang Perairan, Indonesia, bahwa semua kapal asing berhak untuk melakukan lintas damai di laut teritorial Indonesia. Sehingga kapal Iran itu pun berhak untuk melakukan lintas damai di laut teritorial Indonesia.

 Ayat (3) Lintas damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terus-menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan kepada  orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.

 Pada ayat 3 pasal 11 UU 6/1996 tentang perairan Indonesia ini sangat jelas menyatakan bahwa lego jangkar sambil transfer bahan bakar ship to ship sesama kapal asing apabila itu diperlukan karena keadaan memaksa boleh saja dilakukan. Bisa saja salah satu dari kapal itu memerlukan bahan bakar. Tidak ada larangan untuk hal itu.

Jadi transfer bahan bakar di laut sesama kapal asing di laut teritorial Indonesia TIDAK DILARANG. Lalu bagaimana mau dihukum kalau tidak ada larangannya.

 Kedua. Sekarang kita lihat dari aturan Internasional yaitu UNCLOS 82.

Menurut ayat 2 Pasal UNCLOS 82, Kapal asing DIPERBOLEHKAN UNTUK LEGO JANGKAR BAHKAN TRANSFER BAHAN BAKAR SHIP TO SHIP  SESAMA KAPAL ASING BILA ITU DIPERLUKAN.

 Selengkapnya ayat 2 pasal 18 UNCLOS 82 berbunyi :

Pasal 18 UNCLOS 82

Pengertian lintas (meaning of passage)

 Ayat (1). Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:

(a) melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman   atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan di   luar perairan pedalaman; atau

(b) berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Ayat (2). Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal    tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.

 Pada ayat 2 pasal 18 UNCLOS 82 sangat jelas menyatakan bahwa lego jangkar sambil transfer bahan bakar ship to ship sesama kapal asing apabila itu diperlukan karena keadaan memaksa boleh saja dilakukan. Bisa saja salah satu dari kapal itu memerlukan bahan bakar. Tidak ada larangan untuk sehingga tidak bisa dikenai hukuman.

3. Penahanan kapal.

Pertama, Yurisdiksi Kriminal diatas kapal asing diatur Pasal 27 UNCLOS  yang selengkapnya berbunyi :

 Pasal 27

 Yurisdiksi kriminal di atas kapal asing

Ayat (1). Yurisdiksi kriminal Negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan yang berkaitan dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian, kecuali dalam hal yang berikut :

(a)  apabila akibat kejahatan itu dirasakan di Negara pantai;

(b)  apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian Negara tersebut atau ketertiban laut wilayah;

(c)  apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler Negara bendera; atau

(d) apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropis.

 Jadi menurut ayat 1 pasal 27 UNCLOS 82, yurisdiksi kriminal negara pantai dalam hal ini Indonesia, hanya bisa menjangkau kapal asing dalam hal ini kapal Iran, bila tindakan kriminal diatas kapal Iran itu berdampak langsung ke Indonesia.

Tindakan kriminal yang di sangkakan oleh Ka.Bakamla ke kapal Iran itu adalah ship to ship transfer bahan bakar sesama kapal asing. Bahan bakar yang ditransfer itu milik kapal asing, bukan milik Indonesia, jadi  walaupun seandainya  transfer bahan bakar ship to ship itu adalah kriminal, tetap saja hal tidak berpengaruh terhadap Indonesia, karena bahan bakar yang ditransfer itu bukan milik Indonesia. Jadi Indonesia tidak dirugikan, sehingga kapal itu tidak boleh ditahan.

Kedua, yurisdiksi perdata bertalian dengan kapal asing diatur pada pasal 28 UNCLOS yang selengkapnya berbunyi

Pasal 28

Yurisdiksi perdata bertalian dengan kapal asing

 1. Negara pantai seharusnya tidak menghentikan atau merubah haluan kapal asing yang melintasi laut teritorialnya untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata bertalian dengan seseorang yang berada di atas kapal itu.

2. Negara pantai tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap atau menahan kapal untuk keperluan proses perdata apapun, kecuali hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul oleh kapal itu sendiri dalam melakukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan Negara pantai.

Jadi menurut ayat 2 pasal 28 UNCLOS 82, Indonesia tidak dapat menahan kapal itu untuk proses perdata apapun. Indonesia mem-permasalahkan proses transfer bahan bakar milik kapal itu. Kepemilikan bahan bakar adalah masalah perdata. Sehingga kalaupun kepemilikan bahan bakar itu menjadi masalah,itu tetap masalah perdata yang tidak dapat mengakibatkan kapal itu ditahan, yang artinya kedua kapal itu tidak bisa ditahan.

Ketiga, Penahan kapal didunia internasional diatur oleh International Convention on Arrest of Ship tahun 1999. (Konvensi internasional tentang Penahan Kapal).

Penahan kapal didunia internasional diatur oleh International Convention on Arrest of Ship tahun 1999. (Konvensi internasional tentang Penahan Kapal).

Indonesia memang belum meratifikasi konvensi ini. Akan tetapi mengingat konvensi ini telah digunakan oleh seluruh anggota IMO, maka konvensi ini telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Indonesia sendiri menundukan diri pada hukum kebiasaan Internasional sehingga menundukan diri juga terhadap Konvensi Internasional tentang Penahanan kapal ini.

Kewenangan Penahanan kapal diatur pada angka 1 artikel 2 yang berbunyi :

 Kewenangan Penahanan kapal diatur pada angka 1 artikel 2 yang berbunyi :

 Article 2, Powers of arrest

  1. “A ship may be arrested or released from arrest only under the authority of a Court of the State Party in which the arrest is effected”.
  2. A ship may only be arrested in respect of a maritime claim but in respect no other claim.

Kapal yang ditahan apabila dituduh melanggar hal-hal yang termasuk dalam “Maritime Claim”. Salah satu “Maritime Claim” dimana kapal dapat ditahan yaitu apabila bila terbukti kapal itu telah mengakibatkan kerusakan lingkungan maritim. Dalam bahasa Inggrisnya tertulis sebagai berikut :

“Maritime Claim” means a claim arising out of one or more of the following:

(d)  damage or threat of damage caused by the ship to the environment,

Nah kedua kapal itu ditahan Bakamla karena diduga telah melakukan kerusakan lingkungan.

Jadi menurut Konvensi internasional tentang Penahanan Kapal ini dapat ditahan apabila kerusakan lingkungan itu telah terbukti atas keputusan pengadilan. Jadi sangat jelas bahwa Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk menahan kapal Iran itu, karena masih dalam taraf dugaan, dan Bakamla sendiri bukan penyidik yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan, memeriksa, apalagi menahan kapal. Kewenangan untuk menahan kapal akibat adanya “Maritime claim” harus berdasarkan keputusan hakim.

4. Mematikan AIS.

Menurut Bakamla, bahwa Kapal Iran menyembunyikan identitas dengan mematikan AIS (Automatic Identification System), dan Lego jangkar di wilayah laut teritorial tanpa ijin. Itulah salah satu alasan sehingga kapal itu ditangkap.

Setiap kapal lokal dan asing yang berlayar di wilayah Indonesia wajib mengaktifkan AIS, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis.  Sangsi bagi asing yang tidak menghidupkan AIS diatur Pada ayat 2 pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis selengkapnya berbunyi :

 Pasal 10
 Kapal Asing yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi sesuai ketentuan Tokyo MoU dan perubahannya.

Ketentuan Tokyo MoU itu sangsinya adalah sangsi administratif yang dicatat oleh PSC (Port State Control). di Indonesia yang menjadi PSC adalah KPLP, bukan Bakamla.

Selain itu dalam PM 7 Tahun 2019 itu tidak menyebutkan kewenangan Bakamla dalam menegakan aturan itu.

Jadi bila kapal Iran itu mematikan AIS maka PSC, dalam hal ini KPLP mencatatnya dan selanjutnya akan menjatuhkan sangsi berupa sangsi administrasi. Dengan demikian walaupun AIS nya mati, maka kapal Iran itu tidak boleh ditahan. Namun kenyataannya Bakamla melakukan penahanan kedua kapal Iran itu. Apa dasar hukumnya untuk menahan kapal itu ? Di aturan mana tertulis bahwa bila AIS dengan sengaja dimatikan kapal itu dapat ditahan, itu tertulis dimana ?? Tidak ada satupun aturan yang mengatur hal itu.

5. Pelanggaran Pasal 317 
UU 17/2008 tentang Pelayaran.

  • Ada yang menyatakan bahwa kedua kapal itu melanggar pasal 317 UU 17/2008 tetang Pelayaran.
  • Pasal 317 UU 17/2008 ttg Pelayaran berbunyi :
  • Nakhoda yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  • Pasal 193 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
  • (1)  Selama berlayar Nakhoda wajib mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan:
  • tata cara berlalu lintas; 
alur-pelayaran; 
sistem rute; 
 daerah-pelayaran lalu lintas kapal; dan 
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. 

  • (2)  Nakhoda yang berlayar di perairan Indonesia pada wilayah tertentu wajib melaporkan semua informasi melalui Stasiun Radio Pantai (SROP) terdekat.

Jadi pasal 193 ayat (1) ini mengatur tentang tata cara berlalu lintas. Semua hal yang diatur di pasal ini sudah dilakukan oleh kedua kapal itu. Misalnya mereka lego jangkar diluar ALKI, agar supaya tidak mengganggu pelayaran. mereka lego jangkar ditempat yang aman, tidak mengganggu lalu lintas kapal. Lalu hal mana yang dilanggar oleh kedua kapal itu ???

Jadi tuduhan pelanggaran pasal 317 UU 17/2008 tentang Pelayaran ini sulit untuk dibuktikan.

Jadi sangat terlihat bahwa dari aturan perundangan yang ada, kedua kapal itu tidak bisa ditahan. Tapi bila memang kedua kapal itu telah melanggar hukum yang ada, ya silahkan diserahkan aja kepada proses hukum. Tapi mengapa Menkopolhukam, dan Menkomaritim sampai turun tangan untuk sampai membuat satgas untuk mengurus kedua kapal ini ? Kalau memang diyakini ada pelanggaran hukumnya, ya serahkan saja ke proses pengadilan.

Para penyidik itu sekarang ogah-ogahan, menerima tangkapan dari Bakamla itu.  Karena mereka semua tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Bakamla itu keliru, karena justru Bakamla yang melanggar semua aturan yang ada. Itulah sebabnya mereka ogah-ogahan menerima tangkapan dari Bakamla itu. Disamping itu juga tidak ada aturan yang mengatur bahwa para penyidik itu wajib menerima hasil tangkapan dari Bakamla. Lalu bagaimana ceritanya kalau sampai ada penyidik yang dipaksa untuk menerima tangkapan Bakamla itu ?

Pemaksaan itu tidak akan ada manfaatnya karena di pengadilan pun nanti kapal itu akan dilepas demi hukum bila tidak terbukti tuduhan yang disangkakan.

Ada dua alasan mendasar sehingga sepertinya para penyidik itu ogah-ogahan menerima hasil tangkapan Bakamla saat ini.

 Pertama adalah karena memang tidak ada aturan yang menyebabkan kedua kapal itu harus ditahan. Kedua, pemilik kapal dapat melakukan upaya hukum untuk menuntut balik secara hukum kepada Komandan Kapal Bakamla serta kepala Bakamla secara perdata, yaitu menuntut membayar semua kerugian kapal itu selama tidak berlayar. Itulah sebabnya para penyidik itu tidak mau menerima kasus ini. Jadi biarlah tuntutan ganti rugi itu bila ada akan dialamatkan kepada Komandan Kapal Bakamla dan Kepala Bakamla.

Selain itu masih ada akibat lain yang mungkin akan terjadi, yaitu bila Iran merasa penangkapan itu tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, maka Iran dapat melakukan balas dendam. Kapal-kapal Indonesia bisa disergap oleh Coast Guard Iran ketika melintas di perairan teritorial mereka. Hal ini sudah ada contohnya, kapal-kapal Australia ada yang disergap oleh  coast Guard China, karena ada kapal-kapal China yang ditahan oleh Australia.

Lalu ada yang menyatakan dalam peraturan yang ada saat ini jika hanya sanksi administratrif, sangat rendah (dendanya) dan berpotensi akan mengulangi lagi aksinya di waktu yang lain. Hal ini sepertinya mau menyalahkan Menteri Perhubungan yang membuat sangsi terhadap pelanggaran AIS itu begitu rendah, hanya berupa sangsi administrasi. Hal ini semakin memperlihatkan ketidak tahuannya tentang aturan dunia Internasional.  Untuk diketahui bahwa penggunaan AIS di Indonesia itu diatur oleh Peraturan menteri nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis. Peraturan Menteri ini dibuat berdasarkan dua aturan yaitu :

 Pertama, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian dan kedua,  International Maritime Organization Resolution A. 1052 (27) adopted on 30 November 2011 concerning Procedures f o r Port State Control.

Kedua aturan itu dibuat untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran, dimana setiap kapal wajib memasang dan mengaktifkan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AlS).

Jadi Menhub tidak ngawur dalam membuat sangsi yang dianggap rendah itu. Sangsi administrasi itu merupakan kesepakatan dunia internasional, bukan mau-maunya Menteri Perhubungan.

6. Permintaan Bakamla untuk jadi penyidik dilaut.

Ada pihak-pihak  yang menyatakan bahwa sebagai Institusi Indonesia Coast Guard Bakamla sudah seharusnya juga memiliki wewenang dalam penegakan hukum sebagai penyidik, seperti Coast Guard yang di miliki negara internasional lain.

Pihak-pihak yang menyatakan itu karena Bakamla selama ini mempublikasikan dirinya sebagai Indonesia Coast Guard, kapal-kapalnya ditulis “Indonesia Coast Guard”.

Untuk diketahui bahwa Bakamla dibentuk berdasarkan UU 32/2014 tentang Kelautan. Dalam UU itu tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa Bakamla adalah Coast Guard Indonesia. Jadi selama ini sebenarnya Bakamla telah menipu publik, seakan-akan Bakamla adalah Indonesia Coast Guard. Identitas Coast Guard yang dipakai Bakamla saat ini adalah identitas palsu. Demikian juga status “Kapal Negara (KN)” yang ditulis pada kapal-kapal Bakamla juga adalah status palsu, karena dalam UU 32/2014 tidak ada satupun pasal yang menyatakan bahwa kapal-kapal Bakamla berstatus sebagai Kapal Negara.

Selain itu, tidak ada satupun pasal dalam UU 32/2014 tentang Kelautan yang mengatur bahwa sebagai Penegak hukum. Jadi sampai saat ini status Bakamla tidak jelas, militer bukan, penegak hukum pun bukan.

Pada saat dalam RDP dengan Komisi I DPR RI, pihak Bakamla minta usulan dijadikan sebagai penyidik.

Untuk memberikan status Penyidik bagi Bakamla artinya harus merevisi UU 32/2014 tentang Kelautan yang akan menelan anggran yang besar. Padahal sekarang ini penyidik di laut sudah ada 6 instansi, yaitu TNI AL, KKP, BEA CUKAI, KPLP dan  POLRI. Semua wilayah laut sudah habis terbagi kepada ke 6 instansi itu. Lalu Bakamla mau jadi penyidik untuk kasus apa ? lalu untuk apa mau ditambah dengan Bakamla ? Kehadiran Bakamla sebagai penyidik justru akan mengakibatkan tumpang tindih kewenangan dengan para penyidik yang sudah ada.

Itulah sebabnya Presiden Joko Widodo pada saat pelantikan Laksdya Aan menjadi Kepala Bakamla sudah memerintahkan agar supaya Bakamla segera ditransformasi menjadi Indonesia Coast Guard. Arti kata Transformasi menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia) adalah perubahan bentuk. Jadi Transformasi Bakamla artinya Rubah Bentuk Bakamla menjadi Indonesia Coast Guard. Namun Presiden menggunakan kata-kata yang halus yaitu “transformasi” .

Transformasi itu dapat dilakukan dengan dua hal yaitu : Pertama, Seluruh anggota Bakamla yang militer harus alih status menjadi ASN. Kedua Rubah landasan hukum dari UU 32/2014 tentang Kelautan menjadi UU 17/2008 tentang Pelayaran. Transformasi itu cukup dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah yang berdasarkan UU 17/2008 tentang pelayaran. Ini jauh lebih mudah dari pada merevisi UU 32/2014 tentang Kelautan hanya untuk memberikan kewenangan sebagai Penyidik kepada Bakamla, yang justru akan membuat penegakan hukum di laut menjadi semakin semrawut.

Semoga para pejabat terkait terbuka hati nuraninya untuk menempatkan kasus penangkapan kapal Iran ini sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan di dunia Internasional. Apabila dalam kasus penangkapan kapal ini terkesan aparat Indonesia menangkap kapal dengan gaya ala cowboy tanpa memperhatikan aturan perundangan yang berlaku maka dikhawatirkan akan terjadi balas dendam oleh Iran dan sekutunya terhadap kapal dan para pelaut Indonesia yang ada di luar negeri saat ini. Contohnya sudah ada, kapal dan pelaut Australia ditangkap oleh China, karena Australia juga menangkap kapal dan pelaut China tanpa memperhatikan aturan dunia Internasional.

 

Penulis  : Laksda TNI (Purn), Soleman B. Ponto, S.T., MH.

Mantan Kabais TNI ( 2011-2013)

 

Komentar