Negara Federal Republik Papua Barat Beri Waktu Hingga 2021

Jurnalpatrolinews – Jayapura : Perayaan HUT Negara Federal Republik Papua Barat ke IX akhirnya digelar secara sederhana di Sekretariat NFRPB di Kertosari Distrik Sentani Barat Kabupaten Jayapura. Dihadiri hampir 100 orang perayaan ini tetap berjalan meski mendapat pengawasan ketat aparat kepolisian. Bintang kejora yang awalnya direncanakan akan dikibarkan juga batal dinaikkan. Bendera tersebut hanya diletakkan di tiang dan dilakukan ibadah.

Meski demikian menurut Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut itu tidak mengurangi pesan dan makna  perayaan HUT. “Bintang Kejora mau dikibarkan atau tidak, NFRPB tetap dalam posisi menang,” kata Forkorus disela-sela perayaan HUT di Ketrosari, Senin (19/9).

Apalagi menurutnya kegiatan ini tidak hanya dilakukan di Kabupaten Jayapura tetapi ada juga di Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Mappi, Yapen, Sorong dan beberapa titik lainnya.

“Di Pegunungan Bintang mereka sampaikan sedang mempersiapkan bakar batu kemudian menaikkan bendera sedangkan di kabupaten lain hanya ibadah karena memang teman-teman di daerah mendapat tekanan dari aparat,” bebernya.

Pihaknya menyatakan tetap menang lantaran dengan adanya pelarangan ini artinya ada gesekan serta sengketa dan ini disebut bagian dari bukti. Disini Forkorus menyatakan telah mengirimkan proposal perundingan pengakuan peralihan kedaulatan dari NKRI ke NFRPB ke Presiden Jokowi dan kedutaan negara – negara sahabat.

Dari proposal tersebut kata Forkorus yang didampingi pasukannya, Presiden Jokowi harus membahas proposal tersebut dengan DPR RI dan segera direspon. “Pak Jokowi masih punya banyak waktu untuk membahas proposal kami. Sebab jika sampai 2021 tidak direspon maka kami siap ke kawasan Pasifik melalui Pasific Island Forum (PIF) maupun MSG untuk disuarakan dan diperjuangkan bersama-sama,” ucapnya.

“Secara undang – undang internasional kami sudah menenuhi semua persyaratan jadi salah jika tidak menjawab dan merespon proposal kami. Kami selama ini masih menghormati Indonesia dengan menempuh jalur damai tapi jika tahun depan tetap tidak ditanggapi makan kami akan mulai berjuang dari luar dan itu akan semakin membuat posisi Indonesia sulit,” sambungnya.

Perayaan ke IX ini juga dianggap sebagai perayaan kembar, sebab ada kelahiran 2 pernyataan. Pertama pernyataan sebagai bangsa Papua dan pernyataan kemerdekaan pada 19 Oktober 1961 oleh komite nasional Papua.

Sedangkan hari pengakuannya oleh Nederland New Guinea atau Papua Belanda jatuh pada 1 Desember 1961. Jadi selama ini 1 Desember bukanlah hari kemerdekaan melainkan pengakuan. Kata Forkorus hari ini (kemarin, red) merupakan hari kebangsaan dan hari pemulihan kedaulatan juga sudah 9 tahun. Sembilan tahun, karena ketika itu kemerdekaan dianeksasi oleh Soekarno duduki Papua hingga kini dan ini juga jadi akar penyebab, aneksasi hukum wilayah kedaulatan.

“Saya katakan pemulihan kemerdekaan, sebab waktu itu kami belum melengkapi struktur kenegaraan. UUD dan pemerintahan juga belum ada namun pada Kongres Rakyat Papua III semua sudah dibacakan makanya  kami menyurat ke presiden Jokowi hingga terakhir menjelaskan dalam proposal,” bebernya.

Meski tak mengibarkan Bintang Kejora, kata mantan pengawas sekolah ini Bintang Kejora dikibarkan atau digagalkan pihaknya tetap berada di pihak yang menang. Ini lantaran adanya bukti sengketa aneksasi dan negara federal memang membutuhkan bukti bahwa mereka pernah bertengkar dan bersengketa. Ini menurutnya bagian dari bukti bisa dibawa ke pengadilan.

“Kami sedang kumpulkan bukti sengketa aneksasi antara NFRPB dengan NKRI. Kalau tidak ada bukti apa yang mau kami ajukan,” tegasnya. Negara Federal kini tengah fokus pada  berjuang untuk peralihan dan pengakuan kedaulatan secara damai, resmi dan sesuai piagam PBB.

Menurut Forkorus secara resmi ia telah menyerahkan proposal kepada Indonesia pada 7 Oktober 2020 plus tanda terima yang artinya presiden Jokowi sudah tahu persoalan yang diajukan NRFPB di Papua.

Negara Federal menurutnya kedaulatannya adalah eks negara kolonial Papua New Guinea atau bahasa Indonesianya, Papua Belanda sedangkan Indonesia wilayah hukumnya adalah Hindia Belanda.

“Saya sudah beritahukan makanya kami ajak berunding dan ini sesuai azas dekolonisasi hukum internasional. Saya sudah beritahu Presiden Jokowi sehingga saya juga minta itu segera disikapi. Jika belum paham, silakan berkoordinasi dengan para ahli hukum. Benar atau tidak klaim dari negara federal bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah mantan kolonial hindia belanda,” papar Forkorus.

Ia menganggap ini benar mengingat telah dikaji, karenanya ia meminta seluruh pasukan ditarik ke wilayah NKRI di Hindia Belanda.

“Dulu kami tidak bisa bicara karena belum ada negara tapi saat ini sudah bicara karena telah menjadi subjek hukum. Jika Jokowi tidak tarik dan mulai hari ini 19 Oktober ada konflik yang membuat warga Papua mati oleh TNI-Polri maka saya siap menuntut. Saya minta Pak Jokowi harus perintahkan untuk menarik pasukan. Sebab ia sudah menerima proposal kami. Proposal saya harus dibaca baik – baik dan terakhir saya ucapkan terima kasih kepada warga yang sudah Pengibarkan Bintang Kejora,” lanjutnya.

Ia menjelasnya secara etika setelah menerima proposal ini maka Pak Jokwi harus bicara dengan DPR dan Mahkamah Agung. DPR harus ambil keputusan agar presiden tidak disalahkan dan presiden perlu menanggapi ini sebab sesuai prosedur 1 piagam PBB pasal 33 ayat 1.

“Tapi kalau tidak bisa juga maka saya mengikuti prosedur berikutnya yakni ke kawasan atau regional dan disitu Pak Jokowi tidak bisa  menyalahkan saya. Sebab saya tidak sama seperti kelompok lain main belakang. Saya ikuti prosedur dan saya tahu hukum,” singgung Forkorus.

Dalam proposal tersebut dikatakan ia telah menerakan tahun 2021 negara federal sudah melanjutkan perjuagan ke pasific. Kalau dihitung Oktober 2020 hingga tahun depan masih ada waktu yang bisa diberikan dan waktu banyak untuk Indonesia untuk menanggapi ini.

“Kalau tidak  dijawab ya saya akan keluar yang penting persyaratannya sudah dilakukan. Yang penting kami sudah penuhi prosedur 1 dengan dokumen yang lengkap.  Bagi kami Indonesia mau jawab, mau diselesaikan secara bilateral dan mau didiamkan kami tidak ada urusan sebab yang penting semua persyaratan sudah kami penuhi Kalau ditanya di luar negeri akan kami akan sampaikan,” katanya lagi.

Pihaknya akan membawa persoalan Papua ini di Pasific Island Forum (PIF) di Supa, Fiji termasuk sub kawasan di MSG. PIF merupakan organisasi negara – negara anggota regional dan bukan LSM. Dan meski bisa dibawa ke sidang PBB namun dalam PIF ada prosedurnya dimana terakhir dibahas dalam  leader summit atau yang disebut KTT yang berisi perdana menteri dan presiden. Hanya saja ini tidak mudah karena semua akan dibahas kembali.

Disinggung perbedaan perjuangan NFRPB dengan ULMWP ia mengaku tak mengetahui persis apa dasar yang digunakan oleh ULMWP.

“Kalau kami jelas dasar hukum internasional. ULMWP secara hukum internasional posisinya subjek hukum atau tidak. Kalau subjek hukum dalam bidang apa dulu. Jika dalam hal kedaulatan negara maka ia sah berbicara tapi kalau bicara organisasi Papua merdeka ini tidak bisa. Kalau kami organisasi negara bukan organisasi LSM,” singgungnya.

“Kami goverment organization sedangkan ULMWP termasuk non goverment organization,” sambungnya. Disini Forkorus juga menjelaskan bahwa sulit jika meminta Papua dilakukan referendum. Pasalnya Indonesia sudah melakukan deklarasi kemerdekaan sedangkan referendum bisa dilakukan jika bangsa itu berstatus hukum dekolonisasi barulah bisa memberikan referendum layaknya negara New Caledonia. Sebab Perancis adalah kolonial dan ia punya kewajiban membina dan memberikan status dekolonisasi kepada bangsa kanak   ketika itu.

Nah di Asia, Indonesia menurutnya tidak masuk dalam negara – negara yang statusnya kolonial sehingga tidak bisa menuntut referendum. Kemudian dalam UUD lalu dalam UU Otda dan UU Otsus tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan referendum untuk menentukan nasib sendiri.

“Jadi biar orang Papua minta referendum itu tak bisa kecuali terjadi genoside yang sistemik baru bisa diberi referendum seperti di Cosovo. Jika Indonesia memberikan referendum maka itu menyalahi termasuk seperti yang dilakukan Vanuatu dalam sidang PBB lalu. Dalam proposal kami juga jelaskan soal ini, siapapun yang mau paksakan referendum bagi Papua itu salah juga dan melanggar piagam PBB,” tambahnya.

Lalu  sejak tahun 2011 hingga 2020 pihaknya baru pertama kali menggelar perayaan kata Forkorus bukan karena tak berani namun phaknya masih menghormati Indonesia dan masih ada cara lain yang bisa dilakukan. (ceposonline)

Komentar