Patut Diperhitungkan, Kursi Mensos dan Peluang Risma Tantang Anies di DKI 2022

JurnalPatroliNews – Jakarta, Wali Kota Surabaya dua periode, Tri Rismaharini akhirnya diangkat Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai menteri sosial (Mensos). Risma menggantikan Juliari Batubara yang menjadi tersangka korupsi bansos Covid-19.

Nama Risma dalam bursa menteri Jokowi sudah beredar sejak 2014, kala Jokowi masih berpasangan dengan Jusuf Kalla. Namun, Risma menolak tawaran dari Jokowi tersebut dengan dalih memiliki janji untuk tetap memimpin Kota Pahlawan.

“Dulu waktu saya ditawari jadi menteri, pertama saya juga ngadep ke Bu Mega. Saat itu saya tidak mau jadi menteri, jadi Wali Kota Surabaya saja,” ujar Risma saat itu.

Risma mengaku tawaran untuk menjadi menteri tak hanya datang satu kali. Menurutnya, tawaran juga pernah disampaikan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Selain di pusaran bursa calon menteri, nama Risma juga kerap disebut berpotensi menjadi calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2022, bahkan calon presiden pada Pemilu 2024.

Namun, yang pasti kini Risma telah naik kelas ke kancah politik nasional. Kader PDIP itu selama sepuluh tahun menjadi orang nomor satu di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun berpendapat Risma memiliki potensi menjadi lawan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Pilkada DKI jika jadi digelar 2022.

Menurutnya, peluang tersebut bisa semakin terlihat jika Risma mampu bekerja maskimal sebagai mensos untuk modal maju di Pilkada DKI mendatang.

“Bergantung dari produktivitas, kalau produktivitas bagus akan berpengaruh besar, tapi kalau terganggu ya tidak cukup untuk kapitalisasi modal sosialnya,” kata Ubed saat berbincang dengan rekan media, Rabu (23/12).

Ubed mengatakan Risma bisa memanfaatkan perkembangan era digital untuk meningkatkan elektabilitas dan citra untuk bertarung di panggung politik nasional. Risma pun harus mempublikasikan aktivitasnya sebagai mensos secara masif.

Selain itu, menurut Ubed, Risma juga harus menyelesaikan seluruh ‘pekerjaan rumah’ mensos secara cepat apabila ingin meningkatkan elektabilitas dan bertarung di Pilkada DKI mendatang.

“Ada beberapa hal yang penting, selain sifatnya bagi bansos, soal bagaimana memberdayakan masyarakat miskin yang jumlahnya bertambah, kalau berhasil itu bisa dikapitalisasi sebagai citra positif,” ujarnya.

Namun, kata Ubed, Risma terlambat ditarik ke panggung politik nasional saat ini. Menurutnya, Risma seharusnya ditarik ke panggung politik nasional sekitar tiga hingga lima tahun yang lalu ketika popularitas dan kondisi kesehatannya dalam kondisi yang baik.

“Beda dengan tiga, empat, atau lima tahun yang lalu yang lagi naik-naiknya, padahal sebetulnya itu momentum yang tepat menarik Risma ke level nasional. Sekarang lagi memburuk,” katanya.

Senada, Direktur Romeo Strategic Research & consulting (RSRC), Khoirul Umam menyatakan Risma memiliki peluang untuk menantang Anies di Pilkada DKI mendatang.

Namun, ia mengingatkan bahwa pertarungan di Pilkada DKI sejak 2017 silam bukan hanya terkait dengan kinerja calon gubernur saja, melainkan terdapat eksploitasi politik identitas.

“Tapi perlu dihitung sebaran kekuatan di DKI bukan berdasarkan basis perhitungan rasional pemerintahan, tapi ada aspek tidak sehat secara demokrasi yakni terkait politik identitas,” kata Khoirul.

Bila ingin maju di Pilkada DKI, kata Khoirul, Risma harus membangun kekuatan dari segmen ulama dan Islam yang selama ini tak pernah dijalin Risma secara baik selama menjabat wali kota Surabaya.

Menurutnya, langkah itu nantinya bisa dibangun Risma dengan menggandeng partai-partai politik berideologi Islam.

“Tapi sejauh yang saya pahami, Risma tidak begitu bangun kekuatan dengan elemen ulama atau segmen Islam di daerahnya, dia kurang begitu kuat di situ,” ujarnya.

Lebih lanjut, Khoirul mengatakan kinerja Risma selama menjadi mensos nanti akan menentukan elektoral Risma yang juga digadang-gadang menjadi calon presiden pada 2024 mendatang.

Menurutnya, peluang Risma terbuka menjadi capres 2024 apabila mampu meningkatkan kinerjanya sebagai mensos, seperti yang dilakukan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta dulu.

Khoirul menyebut Mensos bukan sebuah jabatan yang ideal untuk mengelola sebuah isu besar di tingkat nasional.

“Kita tidak pernah menyangka seorang Gubernur DKI jadi alternatif kepemimpinan di tingkat presiden, tapi ketika Jokowi bisa kapitalisasi situasi waktu itu, mencari beda dengan kepemimpinan yang ada, dia patut diperhitungkan,” katanya.

(*/lk)

Komentar