Kejar 170 Triliun, Pemerintah Ramal Target Cukai Tembakau 2020 Tak Tercapai, Ini Alasannya

JurnalPatroliNews – Jakarta, Kementerian Perindustrian meramal target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp170 triliun yang ditetapkan pemerintah pada tahun ini tidak tercapai karena penyebaran virus corona.

Selain itu, masalah juga disebabkan kenaikan cukai yang cukup tinggi.

“Laporan Bea Cukai target Rp170 triliun tidak akan tercapai. Kemungkinan sama atau lebih rendah dari tahun 2019 karena kondisi covid dan kenaikan cukai yang cukup tinggi,” ungkap Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Supriadi melalui konferensi video, Sabtu (15/8).

Ia menjelaskan sebenarnya terdapat kenaikan penerimaan CHT pada triwulan pertama 2020. Namun ia menduga hal ini terjadi akibat dampak kebijakan kenaikan CHT yang dberlakukan pemerintah mulai Januari lalu.

Kenaikan mendorong industri beramai-ramai memborong CHT. Aksi itu mendorong penerimaan CHT tinggi pada kuartal I 2020.

Setelahnya, atau kuartal II, penerimaan CHT langsung turun hingga 10,84 persen. Supriadi mengatakan penurunan paling banyak dialami sigaret kretek tangan (SKT).

Pada golongan rokok tersebut, CHT turun antara 40 sampai 50 persen.

“Cuma ini diimbangi dengan industri besar ya, yang memproduksi SPM (sigaret putih mesin) dan SKM (sigaret kretek mesin),” ujarnya.

Padahal sejak 2012 hingga 2018, penerimaan CHT dan pajak selalu mengalami pertumbuhan. Kecuali pada 2016 yang penerimaannya sempat -2,6 persen.

Kinerja tembakau nasional sejak 2012 hingga 2019 juga mengalami peningkatan. Kecuali 2017 dan 2018.

Menurut data Badan Pusat Statistik dan Badan Kebijakan Fiskal, kenaikan CHT hampir selalu berada di atas peningkatan inflasi. Ini menurut Supriadi sebenarnya tidak sesuai keinginan pihaknya.

Ia berharap kenaikan CHT bisa mendekati kenaikan inflasi. Pada 2019 misalnya, kenaikan inflasi mencapai 3,49 persen.

Sedangkan kenaikan CHT justru mencapai 21,17 persen. Rinciannya 32,39 persen ditopang untuk SPM, 25,42 persen SKM dan 16,44 persen SKT.

Supriadi mengatakan kenaikan CHT dan tarif yang cukup eksesif dikhawatirkan akan memberatkan kinerja industri tembakau. Terlebih pada masa pandemi covid-19.

Ia memperkirakan virus telah menurunkan konsumsi rokok karena masyarakat banyak yang mengalihkan pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok.

Hal itu kontras dengan industri yang justru mengeluarkan biaya produksi lebih besar karena harus menerapkan protokol kesehatan.

“Penurunan volume juga berpotensi menurunkan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh lokal. Sudah terasa sejak akhir 2019. APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) sudah mulai demo karena serapan tembakau lokal berkurang,” ungkapnya.

Ia pun khawatir hal ini akan semakin parah karena dampak pandemi covid-19. Umumnya industri hasil tembakau menyerap hingga 95 persen bahan baku tembakau dan 90 persen bahan baku cengkeh.

Supriadi mengatakan industri hasil tembakau menyerap hingga tujuh juta pekerja dari petani sampai pedagang. Sedangkan industri menyerap hingga 692 ribu pekerja pada  2014.

Angka ini perlahan menurun di tahun 2015 menjadi 692 ribu. Menurut informasi yang didapat, ia mengatakan kini serapan tenaga kerja di industri tembakau tersisa sekitar 500 ribu orang.

(lk/*)