Perlu Kembangkan Teologi Kerukunan, Antara Menteri Agama, Syiah, dan Ahmadiyah

Jurnalpatrolinews – Jakarta : Menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, pemerintah akan memfasilitasi dialog ketika terjadi perbedaan pandangan dan keyakinan antar-pemeluk agama. Sebab, semua warga negara memilik kedudukan yang sama di hadapan hukum, seperti kelompok minoritas Ahmadiyah dan Syiah.

Keponakan saya, dokter umum sebuah rumah sakit di Solo, menyampaikan pertanyaan tentang afirmasi Syiah dan Ahmadiyah. Benarkah Menteri Agama begitu? Boleh jadi pertanyaan itu mewakili “keresahan” sebagian publik Indonesia. “Ada-ada saja, masa Ahmadiyah dan Syiah harus diafirmasi segala.” Demikian, mungkin, yang bergelayut di pikiran mereka.

Tak hanya itu. Pernyataan menteri agama soal populisme Islam dianggap publik pemahaman yang kurang pas. Dua hal itulah setidaknya yang telah menjadi kontroversi Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas, tak lama setelah dilantik akhir Desember yang lalu.

Dialog Terbuka

Tentang afirmasi Syiah dan Ahmadiyah, Gus Menteri—demikian saya memanggilnya—sudah memberikan klarifikasi dengan sangat jelas. Bahwa sebagai Menag, dia harus melindungi semua umat beragama. Tanpa kecuali. Penganut Syiah dan Ahmadiyah adalah juga warga Indonesia yang dijamin hak-haknya oleh konstitusi. Mereka bebas mengekspresikan keberagamaannya.

Salahkah jika kemudian Gus Menteri harus melindungi dan mengakui hak-hak mereka?

Tak ada yang menyalahkan sebenarnya. Hanya, kata Sekretris Umum Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti, perlu kehati-hatian saja. Karena Syiah dan Ahmadiyah adalah persoalan yang sensitif bagi umat Islam. Selama ini umum diketahui bahwa Syiah, terlebih Ahmadiyah, telah dianggap “berseberangan” dan bahkan keluar dari keyakinan mainstream umat Islam. Inilah yang dianggap sensitif. Saya yakin, Gus Menteri bukan tak tahu, beliau sangat paham soal itu.

Kita pun memahami, Ahmadiyah konon meyakini adanya nabi terakhir setelah Nabi Muhammad Saw. Adalah Mirza Ghulam Ahmad (w.1908), selain diyakini sebagai nabi, dia diyakini pula sebagai Imam Mahdi, bahkan al-Masih al-Mau’ud (Imam Mahdi yang dijanjikan). Keyakinan ini jelas-jelas bertentangan dengan umumnya keyakinan umat Islam. Atas dasar itulah kemudian MUI pernah memfatwakan bahwa Ahmadiyah sesat.

Memang tak hanya di Indonesia. Di negara asalnya saja, yaitu India, Ahmadiyah juga dilarang.

Namun sebagai paham keagamaan, gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 23 Maret 1889 itu bagaimanapun sudah menyebar di 210 negara. Dengan populasi hanya sekitar 12 juta di dunia, sebenarnya belum seberapa dibanding dengan NU atau Muhammadiyah misalnya.

Beda dengan Syiah. Madzhab ini memang mempunyai pengaruh kuat, tidak saja di negara asalnya, Iran. Ia telah menjadi “ideologi” politik yang ditakuti, bahkan oleh dunia Arab umumnya yang mayoritas Sunni.

Meski secara jumlah tak diketahui pasti, karena Syiah sepertinya tak pernah melakukan sensus keanggotaan, namun gerakannya sangat diperhitungkan. Bahkan sering pula dipertentangkan, terutama dengan madzhab mainstream umat Islam dunia, yaitu Sunni.

Pertentangan itu sudah sangat lama, sejak awal kemunculannya, terutama soal beda sikap dalam penempatan dan penghormatan terhadap kedudukan Sahabat Nabi Saw. Syiah lebih mengagungkan Sayyidina Ali, menantu Nabi, dibanding yang lain. Tentu, ada pula ajaran dan keyakinan lain yang membedakannya dengan Sunni, tapi haruskah kita terus memperdebatkannya?

Yang diperlukan sekarang justru dialog terbuka. Bukan perdebatan yang saling memutlakkan, yang hanya berujung pada sikap menyesatkan. Langkah ini sebenarnya sudah cukup lama dilakukan oleh ulama dunia. Tak kurang 200 ulama dari 50 negara pernah bertemu di Yordania. Adalah Raja Abdullah II yang mempertemukannya dalam Konferensi Islam Internasional pada 4-6 Juli 2005 di Amman. Dengan tema “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern,” dialog tersebut menyepakati Risalah Amman yang menyerukan toleransi dan persatuan antar Umat Islam dari berbagai golongan dan madzhab yang berbeda-beda.

Salah satu dari tiga pesan utama dalam Risalah itu, yang perlu dipertegas di sini, adalah: “Siapapun yang menganut salah satu dari empat mazhab Sunni yaitu yurisprudensi Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan dua mazhab fiqih Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dari yurisprudensi Islam dan madzhab yurisprudensi Islam Dzahiri, adalah seorang Muslim. Menyatakan orang itu murtad adalah tidak mungkin dan tidak diizinkan.

Sesungguhnya darah, kehormatan dan hartanya tidak dapat diganggu gugat. Selain itu, sesuai dengan fatwa Syaikh Al-Azhar, tidak mungkin atau tidak diizinkan untuk menyatakan siapapun yang menjadi pengikut Asy’ari atau siapapun yang mempraktekkan tasawwuf (sufisme) nyata seorang murtad. Demikian juga, tidak mungkin atau tidak diizinkan untuk menyatakan siapapun yang bermanhaj Salafi benar dianggap murtad.

Sama halnya, tidak mungkin atau tidak diizinkan untuk menyatakan sebagai murtad kelompok muslim manapun yang percaya pada Tuhan dan Rasul-Nya dan pilar-pilar iman, dan mengakui lima pilar Islam, dan tidak menyangkal prinsip agama apapun yang terbukti dengan sendirinya.”

Risalah Amman tersebut harusnya menjadi tonggak bagi kita semua untuk lebih meningkatkan dialog terbuka, mencari titik persamaan dari perbedaan yang ada. Sekali lagi, bukan perdebatan yang hanya akan berakhir penyesatan. Karena sebenarnya, “tidak sesat tapi hanya berbeda dengan kita,” demikian pernah ditegaskan Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj.

Mungkinkah perbedaan itu didialogkan? Kenapa tidak, ini pernah dilakukan dua tahun yang lalu. Tepatnya pada Ramadhan 2019—dibungkus dengan tajuk buka bersama, pengikut Sunni-Syiah-Ahmadiyah sekaligus, justru bisa membahas secara terbuka tema yang selama ini dianggap sensitif. Mereka menggelar acara “Kajian Konsep Kemahdian menurut Madzhab-madzhab Islam” yang digelar di Aula Muthahari, Bandung. Perbedaan tentu ditemukan karena masing-masing punya sudut pandang yang tak sama. Tapi dialog tersebut pada akhirnya bisa saling memahami perbedaan yang ada.

Menurut saya, dialog semacam itu perlu diintensifkan. Tidak hanya berhenti pada sikap saling memahami, tapi lebih dari itu agar komitmen keberagamaan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam konteks inilah sebenarnya saya memahami kenapa Gus Menteri harus segera melakukan afirmasi, tentu dengan kebijakan dan langkah yang lebih konkrit lagi.

Teologi Kerukunan

Kecuali, kalau negara ini akan membiarkan perpecahan terus terjadi. Hanya perbedaan madzhab dan sikap keberagamaan, kita sudah lama menyaksikan saudara-saudara kita terusir dari kampung halamannya. Mereka menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Berapa banyak penganut Syiah, juga Ahmadiyah, yang dipersekusi? Atau penganut agama dan keyakinan lainnya yang tak sejalan dengan mayoritas, haruskah mendapat perlakuan tak adil dan bahkan ditindas?

Kita harus kembali pada pokok ajaran. Meminjam istilah Syahrin Nasution (2011), perlu dikembangkan Teologi kerukunan. Maaf, bukan teologi kekuasaan yang hanya menjadikan agama sebagai dalil pembenar belaka untuk mewujudkan ambisi kekuasaan, dengan segala cara. Politisasi agama dengan memperlakukan agama sebagai alat ideologis inilah yang oleh Khaled Abou el-Fadl (2006) dari UCLA, lebih tegas lagi disebutnya dengan pemaksaan agama.

Teologi kekuasaan itu diperjuangkan dan dikembangkan oleh Taqiyudin an-Nabhany (w.1977), pendiri dan ideolog Hizbu al-Tahrir al-Islami (HTI). Konon, dia mendasarkan pada hadits tentang khilafah, yang tanpa disebutkan rawi atau sumber primernya. Sehingga para pengkaji hadits menyimpulkannya lemah untuk dijadikan pijakan. Mungkinkah sumber hadits yang lemah dapat menjadi fondasi membangun proyek besar bernama khilafah Islamiyah? Hal inilah yang dikomentari oleh Gamal al-Banna (w.2013)—adik kandung pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna (w.1949)—bahwa merindukan politik khilafah sebagai prototipe kekuasaan ideal adalah impossible dream.

Mimpi-mimpi itulah yang digelorakan oleh Daulah / Negara Islam Iraq dan Syam, kemudian lebih populer dengan ISIS, yang didirikan oleh Abu Bakr al-Baghdadi (w.2019). Mimpi membangun khilafah Islam dengan jalan pintas, menebarkan teror dan radikalisme agama. Hal ini telah menjadi persoalan serius, bukan hanya oleh umat Islam tapi juga seluruh warga bangsa di dunia.

Tak dipungkiri, persoalan agama memang sensitif, terlebih jika menyangkut prinsip dasar keyakinan. Namun isu-isu keagamaan juga sangat “seksi” untuk menggugah sensitivitas dan menggerakkan emosi umat. Mereka dimanfaatkan, “dirampas” kesadarannya kemudian dimobilisasi untuk berhadapan dengan negara. Telah cukup banyak kita saksikan, bagaimana umat dikerahkan untuk “melawan” pemerintahan. Inilah yang oleh Gus Menteri disimpulkannya sebagai populisme Islam.

Mungkin ada yang “gagal paham” dengan menganggap populisme Islam itu sebagai terminologi biasa dalam kajian ilmu politik dan sosiologi. Namun yang harus dipahami, ia adalah “ideologi” yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok bertentangan, massa dan elit. Ia menjadi metode atau cara tertentu: mobilisasi massa melawan “mereka” yang di atas (Pelinka, 2008).

Bahwa keresahan publik menjadi isu utama yang dibawa kaum populis di dalam menyatukan dukungan rakyat. Politik identitas, baik dengan tema agama, rasial maupun lainnya, memainkan perannya disini. Mereka memiliki pemimpin kharismatik, biasanya memobilisasi massa untuk mewujudkannya agenda-agendanya.

Dalam konteks itulah saya bisa memahami kekhawatiran Gus Menteri. Kesigapannya patut diapresiasi. Yang harus dikronkritkan lagi, bagaimana menjadikan agama sebagai sumber inspirasi bersama, persaudaraan dalam kebhinekaan. Salah satu prinsip yang paling mendasar, betapapun besarnya perbedaan, “sesungguhnya Tuhan telah memuliakan seluruh umat manusia” (Qs.17:70). Disinilah, sekali lagi, perlunya mengembangkan teologi kerukunan.(*/red)

Komentar