JurnalPatroliNews – Batam – Dalam suasana hangat di Ballroom Planet Holiday, Batam, Rabu (7/5), berlangsung momen simbolik yang menggugah Ketua PWI Batam, Muhammad Khavi Ansyari, mengenakan tanjak ikat kepala tradisional khas Melayu kepada sejumlah tokoh penting PWI Pusat, termasuk Ketua Umum Zulmansyah Sekedang, Sekjen Wina Armada, dan Ketua Dewan Kehormatan Sasongko Tedjo.
Gestur itu bukan sekadar formalitas budaya dalam rangka pelantikan, melainkan bentuk komunikasi simbolis yang mengandung makna mendalam: ajakan untuk kembali pada nilai-nilai kebijaksanaan, kehormatan, dan kejernihan berpikir dalam mengelola organisasi.
Tanjak, bagi masyarakat Melayu, lebih dari penutup kepala. Ia merepresentasikan kehormatan dan kejernihan nalar bahwa dalam memimpin, bukan suara keras yang utama, melainkan kejernihan pikiran dan keluhuran sikap. Dalam konteks PWI yang sedang dilanda turbulensi internal, makna ini terasa sangat relevan.
Seperti diketahui, konflik organisasi mencuat setelah Hendry Ch Bangun diberhentikan dari posisi Ketua Umum karena tersangkut kasus cashback. Tak menerima pemecatan itu, Hendry membangun narasi tandingan dan memicu polemik di berbagai daerah, seolah-olah PWI mengalami perpecahan. Padahal, secara hukum dan organisasi, PWI kini sah dipimpin oleh Zulmansyah.
Melalui simbol tanjak, Khavi ingin menunjukkan bahwa PWI Batam dan Kepulauan Riau secara umum hadir bukan hanya sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai entitas yang aktif menjaga marwah organisasi. Mereka mendukung jalannya organisasi, namun tetap siap menyuarakan kritik bila diperlukan.
Tanjak: Lambang Keseimbangan antara Kuasa dan Etika
Dalam budaya Melayu, tanjak adalah pengingat bahwa kehormatan terletak pada kemampuan menjaga akal sehat, bukan menuruti ambisi. Ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukanlah yang paling banyak tampil, tetapi yang mampu menenangkan badai tanpa menciptakan kerusakan.
Konteks ini menjadi penting ketika media lokal dihadapkan pada tantangan besar: perubahan ekosistem informasi, persaingan digital, dan tekanan dari kekuatan politik dan ekonomi. PWI Kepri kini berdiri di titik krusial: apakah akan mengikuti arus, atau menciptakan gelombang perubahan yang bermakna?
Bersama, Bukan Menunduk: Fungsi Kritis Media
Diplomasi tanjak juga menyampaikan pesan lain: media, khususnya PWI Kepri dan Batam, tidak berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah ataupun modal. Di wilayah strategis seperti perbatasan, independensi pers menjadi harga mati. Jurnalis tak boleh hanya menjadi penyambung lidah kekuasaan; mereka harus menjadi penjaga jarak yang sehat antara publik dan kekuasaan.
Tanjak menjadi simbol penolakan terhadap kepatuhan buta. Ia adalah penegas bahwa akal sehat tak boleh ditukar dengan pujian kosong atau iming-iming kekuasaan. Pers harus tetap tegas, obyektif, dan etis dalam menjalankan perannya sebagai pengawas sosial.
Penutup: Jalan Sunyi tapi Bermartabat
Saat tanjak dikenakan di kepala para pimpinan PWI, sebetulnya pesan sunyi tengah diteriakkan: martabat tidak muncul dari kompromi dengan kekuasaan, tetapi dari keberanian menjaga integritas.
Muhammad Khavi lewat simbol itu tak sedang bermain citra, tapi mengundang refleksi bersama: apa sebenarnya arah PWI ke depan? Menjadi organisasi yang sekadar bertahan, atau yang berani menetapkan standar baru dalam jurnalisme?
Di tengah pusaran disrupsi media dan dinamika internal organisasi, tanjak tampil seperti seteguk kopi hitam: pahit tapi menyadarkan. Dan di sanalah letak kekuatan sejatinya.
Komentar