Petisi Rakyat Papua Wilayah Bali Menolak Otsus Dan Minta Segera Gelar Referendum di West Papua

Jurnalpatrolinews – Denpasar  : Otonomi Khusus di Tanah Papua telah berlangsung sejak tahun 2001 hingga tahun ini. Beragam pasal dan ayat yang mengatur tentang keberpihakan di atur dalamnya telah dilaksanakan. Mulai dari Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Pembangunan Infrastruktur, namun fakta menarik yang muncul adalah Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang berjalan selama ini, dinyatakan gagal dari berbagai aspek yang telah di khususkan tersebut.

Dalam Bidang Pendidikan sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, selama 19 tahun implementasi Otsus di Tanah Papua, angka buta huruf hanya naik 1% dari total 26,50%. Dimana tingkat partisipasi Pendidikan orang Papua di Pronvinsi Papua mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) 79,19%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 57,19% dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 44,32%. Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat, tingkat partisipasi Pendidikan di bangku SD 69,92% dan SMP 63,19%. Dan tingkat rata-rata Lama Sekolah (RLS) hanya berkisar 6,65 tahun yang artinya masyarakat Papua hanya merasakan Pendidikan (Sekolah) formal hanya sampai tingkat Sekolah Dasar saja. Sangat deskriminatif.

Sedangkan di bidang Kesehatan, menurut data UNICEF Jakarta tahun 2019 Angka Kematian Ibu di Papua tertinggi di Indonesia yakni mencapai 305 orang per 1000 kelahiran, yang artinya 30% dari 1000 ibu yang melahirkan tiap tahun meninggal. Belum termasuk data HIV/AIDS yang dilaporkan oleh Kemenkes RI tahun 2019, bahwa laporan tahunan per provinsi, Papua memiliki 1061 kasus atau nomor dua setelah Jawa Tengah dengan 1613 kasus, yang di totalkan hingga tahun 2020, Papua telah memiliki 60.606 kasus. Ini masalah yang serius!

Ditengah masalah Kesehatan yang tak kunjung membaik, arus transmigrasi terus terjadi secara besar-besaran dan massif ke tanah Papua. Sebagaimana data pada tahun 2015, bahwa ada 763.807 ribu jiwa yang datang ke Tanah Papua. Sementara data orang asli Papua berdasarkan marga sebanyak 2.386.048 jiwa pada tahun 2019. Berdasarkan akumulasi antara data kelahiran, kematian, serta arus transmigrasi yang tak terkontrol, tentu bukan hal yang tidak mungkin bahwa Papua sedang menuju ke ambang kepunahan.

Belum lagi kita data pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam Era Otonomi Khusus, mulai dari Wasior Berdarah 2003, Wamena Berdarah 2005, Abe Berdarah 2006, Paniai Berdarah 2014, dan Peristiwa Nduga dan Intan Jaya pada tahun 2018-2019, dan semua catatan kelam peristiwa HAM di seluruh Tanah Papua selama era Otonomi Khusus yang tidak sempat terdata.

Dari semua peristiwa pelanggaran HAM tersebut membuat ratusan ribu rakyat sipil Papua meninggal bahkan ribuan rakyat sipil mengungsi jauh dari tempat mereka berada dan tidak mendapat perlakuan adil di depan hukum. Sedangkan pelaku mendapat impunitas bahkan terkesan kasus-kasus HAM tersebut sengaja di hilangkan oleh Negara Indonesia.

Selanjutnya, aspek ekonomi dan pembangunan infrastruktur, tanah Papua adalah lumbung bagi investasi Indonesia yang dibalut atas nama pemerataan dan percepatan pembangunan. Hal ini dapat dilihat bagaimana angka investasi justru semakin massif dan marak di era Otonomi Khusus ini.

Papua yang sebelumnya hanya terdiri dari 9 Kabupaten 1 Provinsi berkembang pesat menjadi 2 provinsi dengan 42 kabupaten/kota di Tanah Papua. Hal itu tentu guna memuluskan niat Jakarta dalam mengekploitasi sumber daya alam Papua, seperti yang terdata hingga tahun 2019, ada sekitar ± 9053 perusahaan skala besar dan kecil yang tersebar di seluruh Tanah Papua bahkan telah mencaplok lebih dari 29 juta hektar dari total 46 juta hektar wilayah Papua, sebagaimana data yang dikomparasikan antara BPS Provinsi Papua dan Papua Barat, Yayasan PUSAKA dan Jerat Papua.

Sudah 19 tahun Otonomi Khusus bergulir di Tanah Papua namun tak menjawab apa yang menjadi keinginan Jakarta terhadap rakyat Papua, sebab tuntutan rakyat Papua, sebagaimana awal lahirnya kebijakan Otonomi Khusus di Tanah Papua, yakni rakyat Papua ingin berdaulat penuh atas tanah airnya atau merdeka.

Berbagai penolakan terhadap kebijakan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah terjadi pada tahun 2005, tahun 2010, dan tahun 2013, namun Jakarta tetap memaksakan niatnya terhadap rakyat Papua dengan melakukan pembatasan akses jurnalis local dan asing, menyebarkan propaganda rasis, melakukan penangkapan, pemenjarahan, dan pembunuhan terhadap aktivis dan rakyat Papua.

Dan disaat yang bersamaan, banyak pakar, akademisi, dan peneliti sudah menyatakan Otonomi Khusus telah gagal mensejahterakan orang Papua.

Otsus menunjukan wajah tawar politik untuk membungkam aspirasi perjuangan Papua merdeka dan eksploitasi sumber daya alam terus berlanjut oleh kapilisme dan imperialisme.

Perihal semua penolakan dan data kegagalan Otonomi Khusus yang telah dikonsumsi oleh berbagai kalangan, Pemerintah Indonesia tetap tancap gas, dan mengabaikan protes-protes rakyat Papua hingga akhir tahun 2020.

Sebagaimana yang terjadi pada awal tahun 2021 ini, dimana Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menginventarisasi 38 rancangan undang-undang (RUU), yang diusulkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Rinciannya, 26 RUU usulan dari DPR-RI, 10 RUU usulan dari Pemerintah dan 2 RUU usulan dari DPD RI.

Salah satunya pembahasan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang dipertegas dengan Surat Perintah Presiden per 4 Desember 2020 lalu. Ini merupakan bukti bahwa Jakarta dan kroni-kroninya tetap tak menggubris hal-hal di luar keinginan politiknya atas Tanah Papua.

Melihat dinamika diatas, Kami Petisi Rakyat Papua Wilayah Bali Bersama Gerakan rakyat Papua, mulai dari organisasi politik Papua Merdeka, organisasi sektoral, organisasi-organisasi mahasiswa, Organisasi Paquyuban, Lembaga Adat dan lain-lain sebanyak 102 organisasi, yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP), dengan total suara 654.561 yang menolak keberlanjutan Otonomi Khusus di Tanah Papua hingga hari ini, Menyatakan sikap dengan tegas:

  1. Petisi Rakyat Papua adalah manifestasi sikap politik rakyat West Papua yang menolak keberadaan dan keberlanjutan Otonomi Khusus di West Papua.
  2. Petisi Rakyat Papua akan mengawal sikap rakyat West Papua untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri secara damai dan demokratis.
  3. Kami bersepakat untuk melanjutkan penggalangan Petisi Rakyat Papua untuk tahapan kedua.
  4. Kami menolak segala bentuk kompromi dan representasi politik diluar dari sikap rakyat Papua melalui Petisi Rakyat Papua.
  5. Kami mendesak Jakarta menghentikan pembahasan revisi Otonomi Khusus dan mendengar sikap dan tuntutan rakyat West Papua melalui Petisi Rakyat Papua.
  6. Kami berkomitmen untuk mendorong Persatuan Demokratik dalam Perjuangan Pembebasan Nasional West Papua.
  7. Kami mendukung 102 organisasi yang tergabung dalam PRP
  8. Tolak Otsus dan Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis.

Komentar