Polemik Peta Hutan Kalimantan Mengikis & Ancaman Banjir Besar

JurnalPatroliNews – Jakarta, Insiden banjir yang menggenangi 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan mengundang perdebatan dan gemuruh protes dari aktivis dan pegiat lingkungan hingga warga internet di jejaring sosial.

Sebuah gambar peta deforestasi di Pulau Kalimantan dari tahun 1950, 1985, 2000, 2005, 2010, dan 2020, ramai diunggah dan diperbincangkan pengguna media sosial.

Salah satu yang mengunggah adalah Marco Kusumawijaya, bekas anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta.

Peta menunjukkan perubahan luas tutupan hutan yang terus mengikis sepanjang tahun 1950-2005.

Berdasarkan peta itu, pada 1950 warna hijau masih mendominasi wajah Pulau Kalimantan. Namun warna hijaunya perlahan memudar pada 1985 dan semakin memudar pada tahun 2000 dan 2005.

Warna hijau Pulau Kalimantan digusur oleh warna putih yang menandakan deforestasi.

Dalam peta tersebut juga digambar proyeksi deforestasi pada 2010 dan 2020. Pulau Kalimantan, berdasarkan proyeksi peta tersebut, hanya akan menyisakan sedikit kawasan hutannya.

Gambar peta Kalimantan itu dibuat oleh seorang kartografer bernama Hugo Ahlenius pada 2007 silam untuk menggambarkan tersingkirnya ruang hidup orangutan di Kalimantan.

Peta dimuat oleh GRID-Arendal, organisasi nonprofit di bidang lingkungan hidup yang bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP).

Pada 2007 peta itu dijadikan bahan analisa oleh PEACE (Pelangi Energi Abadi Citra Enviro) dalam studi berjudul “Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies”.

Dalam studi itu, PEACE memproyeksi angka deforestasi di Kalimantan akan mencapai 2 juta per tahun.

Kemudian, pada 2009 peta tersebut dikutip seorang peneliti yang tulisannya dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan yang diterbitkan oleh Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

CNNIndonesia.com telah berupaya meminta tanggapan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendrojono, Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugrah, dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto terkait hal ini, namun belum mendapat jawaban.

Di media sosial, peta Kalimantan itu dikaitkan dengan bencana banjir di Kalimantan Selatan yang terjadi selama lebih dari sepekan.

Sebagian netizen menjadikan peta itu sebagai rujukan mengenai deforestasi yang akhirnya mengikis kemampuan Kalsel menyerap air hujan.

Fenomena banjir di Kalimantan sendiri sudah sempat diperingatkan melalui studi milik Center for International Forestry Research (Cifor) bertajuk “Rising Floodwaters: Mapping Impacts and Perceptions of Flooding in Indonesian Borneo” sejak 2016 lalu.

Studi itu mengungkap bahwa terdapat potensi peningkatan bahaya banjir di Kalimantan selama abad ini karena perubahan iklim yang berdampak pada siklus air, curah hujan, kenaikan permukaan laut, modifikasi ekosistem pesisir dan drainase gambut dataran rendah.

“Perubahan dalam bahaya banjir ini kemungkinan juga dipengaruhi peningkatan paparan banjir dan kerentanan populasi kepadatan yang meningkat di kota-kota dan banyak pedesaan selama dekade mendatang,” tulis studi tersebut.

Atas konklusi itu, studi menyarankan pemerintah mulai memetakan strategi antisipasi dan tanggap darurat untuk mengurangi risiko bencana, serta melakukan adaptasi jangka panjang di Kalimantan.

Studi dilakukan di Kalimantan karena merupakan pulau ketiga terbesar di dunia dengan keanakaragaman hayati yang begitu beragam. Namun juga mengalami laju deforestasi, yang menurut studi, termasuk tertinggi di dunia.

Analisa dilakukan terhadap sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) setempat, wawancara dengan warga lokal, pemberitaan media, hingga perhitungan hubungan data antara banjir dan aktivitas di wilayah setempat.

Hasilnya, 60 persen warga dari 364 desa di Kalimantan mengaku mengalami banjir setidaknya lebih dari sekali dalam setahun. Dan frekuensi banjir kian meningkat dalam kurun waktu 30 tahun ke belakang.

“Penebangan atau pembukaan lahan gambut telah berkontribusi pada peningkatan frekuensi banjir selama 30 tahun terakhir. Sejak itu tren dikaitkan dengan area penebangan yang lebih luas, lahan gambut, dan umum ditemukan di desa-desa yang disurvei di Kalimantan Tengah bagian timur, dimana area lahan gambut yang luas telah dikonversi menjadi perkebunan pertanian,” ungkap studi.

Foto: www.grida.no

Sikap pemerintah dalam menanggapi bahaya banjir juga dinilai belum sigap. Studi mengatakan penanggulangan dan antisipasi bencana hanya terpaku pada bencana berskala besar atau yang terjadi pada populasi padat, seperti DKI Jakarta.

Sementara pada bencana banjir di Kalimantan, pemerintah disebut belum memiliki banyak informasi dan data yang bisa efektif meminimalisir risiko banjir secara rinci. Metode penilaian risiko yang ada umumnya hanya mempertimbangkan area permukiman besar atau produksi pertanian.

Menurut analisa “Contributor and Victiim-Indonesia’s Role in Global Climate Change with Special Reference to Kalimantan” yang dipublikasi tahun 2009, deforestasi memiliki peran yang besar dalam memperparah kondisi krisis iklim.

Studi mengungkap kawasan hutan Indonesia menyimpan 24 miliar ton karbon yang berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim. Namun selama 1995-2005, tutupan hutan menurun dari 50,2 persen menjadi 48,4 persen. Dari jumlah itu, Sebanyak 57 persen dari total deforestasi terjadi karena pelepasan lahan dan kebakaran hutan.

Setiap tahunnya, Indonesia melepas sekitar 3.000 juta CO2e, dimana deforestasi menyumbang 85 persen dari emisi gas rumah kaca tahunan negara. Jumlah tersebut mencapai 34 persen dari keseluruhan emisi global yang disebab karena perubahan penggunaan lahan dan hutan.

Sementara mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), angka deforestasi tahun 2018-2019 mencapai 462,4 ribu hektar (netto). Ini naik dari tahun 2017-2018 yang mencapai 439,4 ribu hektar. Namun menurun dari tahun 2016-2017 dengan 479 ribu hektar dan tahun 2015-2016 dengan 630 ribu hektar.

(cnn)

Komentar