Reshuffle Jilid 1 Kabinet Indonesia Maju: Demokrasi Kompromi Ala Negeriku

Oleh:

Rudi S Kamri

Selasa 22 Desember 2020, perombakan kabinet Indonesia Maju yang ditunggu- tunggu banyak orang akhirnya terjadi juga. Dengan selebrasi ala Jokowi, calon menteri dipajang dan didandani jaket casual biru laut ditampilkan di beranda belakang istana negara. Menarik, selegramable dan enak dilihat.

Saya tak hendak mengomentari terlalu jauh tentang figur menteri baru, karena saya tak ahli dalam hal itu dan pergantian menteri itu adalah hak mutlak seorang Presiden. Secara umum saya, sebagai rakyat kecil sangat bahagia dengan sosok menteri baru khususnya empat menteri yaitu Tri Rismaharini, Budi Gunadi Sadikin, M. Lutfi dan Yaqut Cholil Qoumas.

Sedangkan dua menteri yang lain, saya hanya tertawa terkekeh-kekeh.

Kehadiran Tri Rismaharini adalah harapan besar bagi semua rakyat.

Kesalahan fatal pemilihan menteri sosial sebelumnya yang penuh pencitraan dan akhirnya berujung di sel tahanan, membuat saya mempunyai optimisme tinggi terhadap Ibu Risma.

Sosok yang hampir mustahil korupsi ini adalah jawaban dari doa rakyat kecil yang selama ini hak bantuan sosial-nya dipakai bancakan kaum penjahat kemanusiaan.

Tantangan besar Ibu Risma adalah setan-setan birokrasi di dalam internal kementerian sosial yang sudah mengakar dan beranak-pinak puluhan tahun. Tapi entah mengapa saya yakin Bu Risma mampu mengatasinya.

Kehadiran Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut adalah harapan besar kita akan keberanian seorang menteri agama yang tegas dan berani melawan radikalisasi agama dan intolerasi.

Rekam jejak Gus Yaqut sebagai Ketua GP Ansor telah menjanjikan hal tersebut. Sebaliknya kehadiran Gus Yaqut bisa dianggap lonceng kematian atau kiamat kecil bagi kelompok atau orang yang selama ini menjadi biang keladi radikalisme agama dan intolerasi seperti FPI, PA212, ex HTI dan kelompok lainnya.

Budi Gunadi Sadikin (BGS) adalah Menteri Kesehatan pertama di republik ini yang tidak berlatar belakang pendidikan kedokteran.

Dan hal ini bagi saya tidak ada masalah sama sekali. 11 negara besar lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia dan beberapa negara lainnya punya menteri kesehatan yang juga bukan dokter.

Karena sejatinya tugas menteri adalah membuat dan mengelola kebijakan, dan rekam jejak BGS yang pernah menjadi direktur utama Bank Mandiri dan Inalum sangat bisa diharapkan untuk membenahi silang sengkarut manajemen bidang kesehatan yang terjadi selama ini.

Batu sandungan BGS hanyalah bagaimana dia mampu “menaklukkan” IDI dan resistensi para guru besar kolot yang merasa Kementerian Kesehatan adalah jatah mutlak para dokter.

Dan saya yakin BGS punya gaya dan seni untuk mengatasi hal tersebut.

Munculnya Muhammad Lutfi menjadi Menteri Perdagangan adalah sesuatu yang mengagetkan.

Karena Lutfi baru saja beberapa bulan menduduki kursi Duta Besar paling prestesius yaitu Dubes RI untuk Amerika Serikat.

Tapi harus diakui dalam kondisi resesi ekonomi sebagai akibat dampak pandemi Covid-19, Presiden Jokowi membutuhkan Tim Ekonomi yang super kuat.

Dan Lutfi adalah pilihan terbaik untuk jabatan ini karena dia punya pengalaman moncer selama menjabat Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM era Presiden SBY.

Nah bagaimana dengan Sakti Wahyu Trenggono atau dikenal dengan Mas Treng sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan?

Orang yang sangat dekat dengan Presiden Jokowi dan mantan Wakil Menteri Pertahanan ini seharusnya terlebih dahulu mengklarifikasi tentang sinyalamen bahwa salah satu perusahaannya terlibat dalam bisnis ekpor benur atau baby lobster yang menghebohkan itu.

Klarifikasi ke publik sangat penting untuk memghindari fitnah dan tuduhan konflik kepentingan di dalamnya. Tapi mohon maaf dari rekam jejak Mas Treng selama ini, saya tidak berani berharap akan terjadi perbaikan signifikan dalam bidang kelautan dan perikanan.

Saya sangat berharap, prediksi saya ini salah.

Lalu bagaimana dengan Sandiaga Uno?

Lepas dari mungkin dia punya kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni di bidang manajemen pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif, penunjukan Sandi sebagai anggota kabinet Indonesia Maju membuat saya semakin tidak percaya sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi kompromi ini mungkin akan membuat saya berhenti ikut hiruk pikuk kontestasi Pilpres yang ternyata hanya dagelan kaum politisi dan petinggi negeri.

Rekam jejak opini saya yang keras menghantam pasangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 lalu tidak bisa saya hilangkan dalam laman perjalanan saya sebagai penulis amatir yang suka iseng mengamati dinamika sosial politik di negeri ini.

Dengan melihat hadirnya Prabowo-Sandi dalam kabinet Indonesia Maju, membuat saya bertanya dalam diri saya sendiri, buat apa harus ada Pilpres yang menghabiskan dana lebih dari Rp 25 Trilyun dan mengorbankan nyawa sekitar 600 orang petugas KPPS ya ?

Buat apa saya gigih membela pasangan yang satu dan mengecam keras pasangan yang lain dengan resiko ancaman dan nyawa ?

Hehehehe jujur harus akui, saya ternyata hanya steriotipe rakyat jelata bodoh biasa yang mudah terpedaya warna-warni politik dalam dinamika permainan demokrasi kompromi yang terjadi di negeri ini. Sesuatu yang tidak terjangkau akal sehat saya.

Tapi apalah artinya kerisauan saya tentang demokrasi kompromi di negeri ini, toh Presiden Jokowi sudah tidak punya beban membuat keputusan apapun, bukan?

Melihat foto di bawah ini, dimana beliau berempat tertawa bahagia, saya harus akui bahwa demokrasi di negeri ini memang hanya dagelan semata……

Kok tiba-tiba saya merasa mual ya?

Salam SATU Indonesia

23122020

Komentar