Rupiah Teraniaya Mata Uang Dunia, Kasus Corona RI Semakin Meledak

JurnalPatroliNews – Jakarta, Nilai tukar rupiah “teraniaya” di pekan ini, melemah melawan mata uang utama dunia. Kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang “meledak” di Republik Indonesia (RI) membuat rupiah tertekan.

Melawan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah melemah 0,11% ke Rp 14.085/US$ sepanjang pekan ini, sekaligus mengakhir kinerja tak pernah melemah dalam 9 pekan terakhir. Rinciannya, menguat 8 pekan dan sepekan stagnan.

Pelemahan melawan dolar AS tersebut terbilang kecil, sebab melawan mata uang lainnya rupiah ambrol. Melawan won Korea Selatan, rupiah merosot lebih dari 2%, menjadi penurunan terbesar dibandingkan melawan mata uang utama lainnya.

Dari Eropa, rupiah melemah lebih dari 1% melawan euro dan poundsterling.

Tekanan bagi rupiah sudah muncul sejak awal pekan, setelah kasus Covid-19 mencetak rekor penambahan harian 6.267 kasus pada hari Minggu (29/11/2020). Rekor tersebut kemudian pecah lagi pada Kamis (3/12/2020), jumlah kasus baru tercatat sebanyak 8.369 orang.

Dalam 2 pekan terakhir, rata-rata penambahan kasus juga meningkat menjadi 1,03% per hari, dibandingkan 2 pekan sebelumnya 0,92% per hari.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito, bahkan mengatakan penambahan kasus tersebut tidak bisa ditoleransi.

“Kita bisa melihat dalam beberapa hari terakhir kita mencatatkan rekor-rekor baru. Sebelumnya kita belum pernah mencapai di atas 5.000, tapi sayangnya kasus positif semakin meningkat bahkan per hari ini menembus lebih dari 8.000 kasus. Ini angka yang sangat besar dan tidak bisa ditolerir,” ujar Prof Wiku, dalam konferensi pers Kamis (3/12/2020).

Lonjakan kasus tersebut tentunya membuat investor cemas jika Pembasatan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan kembali diketatkan, yang dapat menghambat pemulihan ekonomi Indonesia.

Padahal, rupiah sebelumnya punya modal untuk menguat di pekan ini, setelah sektor manufaktur kembali menunjukkan ekspansi.

IHS Markit melaporkan purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia bulan November sebesar 50,6. Naik hampir tiga poin dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 47,8.

“Seiring dengan relaksasi PSBB di Jakarta pada pertengahan Oktober, perusahaan menggenjot produksi pada bulan lalu. Peningkatan output mencapai titik tertinggi sejak survei PMI Indonesia dilakukan pada 9,5 tahun lalu,” sebut keterangan resmi IHS Markit.

“Peralihan ke PSBB Transisi terbukti mampu meningkatkan kinerja sektor manufaktur Indonesia. Namun perusahaan masih ragu untuk meningkatkan kapasitas produksi. Apakah perbaikan PMI ini bisa berlanjut akan sangat tergantung kepada pemulihan permintaan,” kata Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti tertuang dalam siaran tertulis.

(*/lk)

Komentar