Saat Napoleon Pilih Keberatan tapi Prasetijo Tempur di Kesaksian

JurnalPatroliNews – Jakarta, Cara dua jenderal Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, menyikapi dakwaan jaksa penuntut umum terkait kasus status red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra berbeda. Napoleon memilih mengajukan nota keberatan atau eksepsi, sementara Prasetijo menyatakan siap bertempur dalam pemeriksaan saksi.

Masing-masing pihak memiliki argumen untuk menguatkan keputusan mereka. Seperti halnya Irjen Napoleon yang meyakini kebenaran sejati akan terbukti dalam persidangan.

“Terima kasih saya ngerti apa yang didakwakan tetapi kebenaran sejati dalam sidang akan kami buktikan di persidangan. Selanjutnya untuk sidang saya serahkan ke tim pengacara,” ujar Napoleon saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Senin (2/11/2020).

Memang butuh waktu untuk menyusun eksepsi. Pihak Irjen Napoleon pun meminta waktu kepada majelis hakim.

“Kami tim penasihat hukum Irjen Pol Napoleon akan ajukan eksepsi. Mohon izin kasih waktu satu minggu yang mulia,” kata pengacara Napoleon, Santrawan T Paparang dalam persidangan.

Usai sidang, pengacara Napoleon lainnya menjelaskan alasan kliennya mengajukan eksepsi. Pihak Napoleon merasa dakwaan jaksa penuntut umum janggal dan aneh.

“Saya selaku penasihat hukum Irjen Napoleon Bonaparte merasa ada hal yang janggal dan aneh dengan dakwaan jaksa terhadap Irjen Napoleon Bonaparte yang dibacakan tadi,” ucap Haposan.

Sejak kasus bergulir, Napoleon ditengarai menerima suap demi menghapus status red notice atas nama Djoko Tjandra. Sementara dalam dakwaan, Napoleon didakwa menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) di Imigrasi. Perbedaan antara red notice dan DPO itu yang menurut pihak Napoleon janggal.

“Karena selama pemeriksaan di tingkat penyidikan, Irjen Napoleon Bonaparte diduga melakukan penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra, tetapi dalam dakwaan, didakwa melakukan penghapusan DPO di Imigrasi atas nama Djoko Tjandra. Hal mana di luar kewenangan dari Irjen Napoleon Bonaparte,” papar Haposan.

Sementara Prasetijo tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum. Prasetijo siap membuktikan bahwa dia tidak melakukan seperti dalam dakwaan jaksa.

“Baik Pak, saya serahkan ke penasihat hukum saya. Secara pribadi saya lanjut aja,” ujar Prasetijo dalam persidangan.

Brigjen Prasetijo Utomo jalani sidang dakwaan perkara suap dari Djoko Tjandra.

Sikap Prasetijo kemudian dipertegas oleh pengacaranya setelah persidangan. Bertempur dalam pemeriksaan saksi dinilai lebih baik oleh pihak Prasetijo.

“Kita tidak mengajukan eksepsi, lebih bagus kita akan bertempur di dalam pemeriksaan saksi nantinya,” tegas kuasa hukum Prasetijo, Denny Kailimang.

Pertanyaan mengenai kebenaran dakwaan jaksa pun dipertanyakan. Denny menyatakan akan membuktikan bahwa kliennya tidak salah.

“Itulah nanti kami aman mulai dengan suatu.. karena apakah benar yang dikatakan tim jaksa penuntut umun, apa betul, benar. Nah itulah kita akan buktikan di saksi-saksi, dan di sinilah tempatnya pembelaan kami lakukan dalam pemeriksaan saksi-saksi nantinya,” papar Denny.

Denny mengaku akan mencecar setiap saksi yang akan dihadirkan. Menurutnya, dalam proses pemeriksaan saksi nantinya kebenaran akan terungkap.

“Dalam sidang nanti saksi-saksi ini yang akan kita cecer, apakah keterangan-keterangannya benar atau tidak, nanti lihat keterangan saksi-saksi di sinilah proses sidang sebenarnya untuk cari kebenaran. Apakah benar dia mengatakan itu, atau tidak seperti yang dikatakan jaksa,” tutur Denny.

Napoleon dan Prasetijo sama-sama didakwa atas dugaan penerimaan suap dari Djoko Tjandra. Bagaimana detail dakwaan yang disangkakan kepada mereka? Baca di halaman selanjutnya.

Napoleon didakwa menerima suap dengan nilai sekitar Rp 6 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap itu diberikan Djoko Tjandra agar Napoleon yang berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen) mengupayakan penghapusan status buron.

“Bahwa terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Brigjen Prasetijo Utomo masing-masing selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima uang SGD 200 ribu dan sejumlah USD 270 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan.

Bila dihitung dengan kurs saat ini, maka SGD 200 ribu sekitar Rp 2,1 miliar lebih, sedangkan USD 270 ribu setara dengan Rp 3,9 miliar lebih. Bila dijumlah, total duit suap yang disebut jaksa telah diterima Napoleon mencapai Rp 6 miliar.

Perbuatan penerimaan suap itu terjadi saat Napoleon menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri. Djoko Tjandra memberikan suap itu agar namanya terhapus dari DPO, sebab saat itu Djoko Tjandra memang sudah lama menjadi buronan, yaitu sejak 2009 dalam perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Napoleon pun didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Prasetijo juga didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra. Prasetijo diduga telah membantu upaya penghapusan nama Djoko Tjandra dalam DPO.

“Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo menerima uang sejumlah USD 150 ribu,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan. Jika USD 150 ribu dirupiahkan, maka, Prasetijo diduga menerima suap sebesar Rp 2,1 miliar.

Atas perbuatannya Prasetijo pun didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

(dtk)

Komentar