Sepanjang Tidak ada Kaitan Politik Praktis, Jangan Takut Resiko Jenderal…!!!

‘PRO-KONTRA’ Sikap Pangdam Jaya

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

Menanggapi sikap Pangdam Jaya dalam kasus pencopotan baliho dan poster HRS beberapa hari yang lalu, memang tidak keliru kalau sejumlah pihak  beranjaknya dari UU yang mengaturnya, utamanya UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Disanalah maka banyak pihak begitu mudahnya menyalahkan dan atau bahkan mencaci maki sikap Pangdam Jaya, tak terkecuali dari sejumlah purnawirawan TNi sendiri.   

Namun demikian sungguh kesalahan yang sangat fatal kalau menilai sikap Pangdam Jaya hanya berdasarkan pada UU TNI semata. Karena persoalan yang dihadapi bangsa saat ini bukan sekedar masalah keamanan dan apalagi persoalan  baliho dan poster HRS. Sangatlah dangkal kalau persoalan kenegaraan yang berkembang akhir-akhir ini disederhanakan menjadi persoalan Baliho dan Poster HRS yang dipasang dengan melanggar aturan. Disanalah pentingnya sikap bijak dan kejujuran dari semua pihak dalam menghadapi perkembangan politik nasional saat ini, khususnya dalam hal penggunaan simbol agama (Islam) yang “GONG’ nya oleh sejumlah pihak diharapkan bisa menggelegar dengan issue kepulangan HRS dari Saudi Arabia.

Disadari atau tidak, dalam kaitan negara sebagai wadah bersama peradaban manusia hingga saat ini belum beranjak dari konsep lama yaitu “nation state” (Negara Bangsa) dimana negara berdiri diatas sebuah bangsa. Sementara sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat ini syarat utama sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia yang majemuk,  belum terpenuhi. Memang betul melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober1945 utusan pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkomitmen untuk ber bangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia. Tapi  mari kita jujur menjawab pertanyaan “Apa sesungguhnya kekuatan yang mengikat kita yang majemuk (bhineka) ini sebagai bangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia?” Bukankah hari-hari ini banyak pihak terlebih mereka yang bermasalah, persoalan kemajemukan bangsa baru sebatas ucapan, belum sampai pada kesadaran apalagi satunya kata dan perbuatan. Sementara sebagian lagi justru memanfaatkan kemajemukan yang ada untuk membikin negara gaduh, karena hanya dengan cara itu eksistensi mereka bisa berlanjut.

Memang tidak ada UU yang melarang untuk menggunakan simbul agama dan bahkan menjadikan agama dalam berpolitik. Apalagi sekedar menjadikan HRS sebagai sarana penggalangan kekuatan politik Islam. Tapi bukankah diatas UU ada etika dalam bernegara, salah satunya adalah komitmen awal atau  “Akad Nikah” yang melandasi didirikannya NKRI sebagai wadah bersama.  Bukankah kita telah bersekapat menjadikan Pancasila sebagi falsafah bangsa dan juga sebagi dasar negara. Tapi kita juga harus jujur bahwa menjawab pertanyaan “Kapan bangsa ini pernah membuat batang tubuh UUD yang sepenuhnya dan original ber “DNA” Pancasila?”.

Dalam keprihatinan sebagaimana gambaran tersebut diatas kiranya bangsa ini dengan mudah memahami jiwa dan semangat Panglima Besar Jenderal Sudirman yang mengalir dalam darah Mayor Jenderal TNI Dudung Pangdam Jaya bangkit untuk mencegah ketidak berdayaan Aparatur Sipil dalam hal ini Satpol PP dan juga Polri kewilayahan yang ada di DKI dalam menjalankan kwajibannya untuk menjaga wibawa Pemerintah dalam menegakkan peraturan Undang-Undang yang berlaku.

Dan apalagi keputusan sang jenderal juga sejalan dengan konsep keamanan yang dijadikan paham keamanan dalam  reformasi internal TNI 1998 yang lalu. Dimana  keamanan ditempatkan sebagai  “out put dari sistem sipil” yang secara tehnis dapat dijelaskan bahwa ketika timbul masalah keamanan, terlebih dahulu harus diatasi oleh aparatur sipil dengan cara sipil (Beradab). Baru setelah Aparatur Sipil dengan cara sipil termasuk Polri gagal atau dipastikan akan gagal dan apalagi secara terukur dpastikan akan jatuh korban, maka penanganan keamanan beralih menjadi tugas TNI dan dilakukan dengan cara-cara militer.

Bukakah fakta tak terbantahkan didepan mata kita sendiri belakangan ini  tergelar ketidak berdayaan aparatur sipil dalam mengatasi persoalan baliho HRS dan protocol kesehatan. Anak bangsa yang mana yang tidak tahu terhadap resiko yang bakal terjadi kalau  sikap aparatur sipil yang demikian itu tersebut terus berlanjut, bukankah kebhinekaan kita akan berubah menjadi sumber perpecahan bangsa, sementara wabah Covid -19 akan merebak dengan cepat dengan skala yang lebih besar lagi.

Lantas haruskah TNI berdiam diri. Pada bagian yang mana Pangdam Jaya harus disalahkan, apalagi sang jenderal tak lebih hanya hendak membangunkan aparatur sipil dalam hal ini Satpol PP dan Polri dari ketidak berdayaan mereka hanya karena kondisi yang dihadapi menggunakan simbul agama (Islam). Persoalan menjadi lain, kalau saja sang jenderal terbukti memasuki wilayah politik praktis. Dan apalagi untuk kepentingan keutuhan bangsa, lucu kalau anak bangsa siapapun ia, apalagi TNI memilih berdiam diri, ikut-ikutan enggan seperti mereka hanya karena penampilan mereka menggunakan simbul agama, bukankah TNI adalah Tentara Nasional sekaligus tentara pejuang, sama sekali bukan tentara bayaran.

Sepanjang tidak ada kaitan politik praktis, jangan takut resiko jenderal…….!!! Dalam hal keutuhan bangsa lebih baik salah dengan resiko apapun, apalagi hanya sekedar membangunkan keberanian aparatur sipil agar bangsa ini tetap utuh tidak tercabik-cabik karena kepentingan politik pihak tertentu yang mengguna issue SARA sebagai alat politik mereka.  Rakyat banyak termasuk yang memilih diam, ada dibelakang jenderal.

 

Jakarta, 25 – Nopember – 2020.

Komentar